Dalam hidup yang terbatas manusia harus memiliki strategi percepatan. Baik itu dalam urusan dunia maupun perkara akhirat. Misalnya, seekor lalat tidak mungkin menempuh perjalan jauh melewati kota dan provinsi dengan menggunkan kedua sayapnya. Namun dengan menempel di sebuah bak truk mobil sampah, maka dengan sendirinya ia akan berjalan lebih jauh dan cepat. Mobil adalah media atau sarana percepatan itu. Di sini dibutuhkan kecerdasan kita untuk memilah dan memilih sarana yang mempercepat kesuksesan itu. Jika tidak berhati-hati bisa jadi lingkungan pergaulan kita justru menjerumuskan atau memperlambat.
Sejak 15 abad yang silam, Rasulullah SAW sudah mewanti-wanti umatnya agar mencari komunitas yang positif dan produktif. Minimal kita mendapatkan energi positifnya. Dan jangan bergabung dan berteman dengan komunitas yang buruk, meskipun kita tidak buruk namun energi negatifnya sudah menimpa kehidupan kita.
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam dunia tulis menulis, lingkungan dan komunitas juga sangat menentukan. Bagi pemula, ini menjadi harga mati. Berdasarkan pengalaman yang saya sendiri rasakan. Sejak mengenal sekolah level paling rendah sampai menyelesaikan studi S2, saya belum pernah membayangkan bisa menjadi penulis (selain skripsi dan tesis) yang buku-bukunya dibaca orang banyak dan dipajang di rak-rak buku di toko buku nasional se-Indonesia. Saya hanya menjadi pengagum karya-karya guru, teman dan penulis lainnya. “Kok bisa ya? Bagaimana caranya?” Pertanyaan yang sering berkecamuk dalam hati.
Kegalauan itu pecah saat membaca sebuah status di media sosial. Status seorang penulis produktif yang menawarkan untuk bergabung di komunitas penulis. Syaratnya sederhana tapi tidak mudah, yaitu mau menulis atau dipaksa menulis. Dalam perjalanan waktu, sebagian anggota terpaksa dikeluarkan dari grup karena tidak komitmen dan sebagian yang lain keluar secara suka rela karena tidak kuat dengan komitmen. Ada yang masuk, ada yang keluar. Namun, tidak sedikit yang tetap stay dengan semangat menulis yang tinggi dengan satu tekat, ingin menjadi penulis profesional yang salah satu cirinya, karyanya diakui oleh penerbit besar (mayor). Salah satunya adalah saya.
Sempat merasakan shock di awal bergabung dengan grup ini. Ternyata, anggota grup rata-rata telah melahirkan karya tulis, bahkan cukup banyak yang telah berkarya lebih dari satu. Antara minder dan terprovokasi. Tidak ada pilihan, sudah terlanjur berlayar. Meskipun gelar S2 ditangan, urusan menulis masih pemula (newbie). Di grup, saya menjadi pembaca aktif setiap tulisan dan motivasi dari para senior dan suhu literasi. Sampailah pada kesimpulan bahwa semua penulis profesional pasti pernah memulai dengan karya yang buruk (jelek).
Hanya dengan beberapa bulan belajar dan berada di lingkungan positif ini, selesai satu naskah buku yang siap dikirimkan ke penerbit mayor. Alhamdulillah, ditolak. Kesimpulan kedua, setiap penulis yang bukunya terpanjang di toko buku pernah mengalami penolakan dan tahu rasanya ditolak. Revisi, perbaiki lalu kirimkan ke penerbit yang lain. Sampai ada kata acc untuk diterbitkan dari penerbit mayor. Akhirnya, kata persetujuan itu pun datang dari penerbit mayor Quanta Elex Komputindo. Rasa syukur dan bangga yang membuncah. Selalu ada kejutan pada yang pertama dan selalu ada yang kedua setelah yang pertama. Lalu lahir karya-karya selanjutnya.
Penulis harus selalu menjaga energi agar tetap istikomah di tengah kesibukan harian yang melelahkan. Salah satu cara menjaga energi itu adalah dengan mengadakan kopdar (kopi darat) sekali dalam satu semester. Di kopdar lah sesama penulis anggota grup bertemu langsung (offline), yang selama ini hanya bertegur sapa dalam tulisan (online). Selain berbagi energi positif, karya-karya baru dan launching buku bersama (antologi) serta seminar literasi menjadi agenda wajib kopdar. Perlahan terjalin hubungan kekeluargaan yang erat. Kopdar menjadi ritual tahunan yang dirindukan. Menjadi keluarga besar komunitas penulis tentu menjadi suatu kebanggaan tersendiri.
Sejak kopdar pertama Sahabat Pena Nusantara (SPN) -yang kemudian berubah menjadi Sahabat Pena Kita (SPK), pada tahun 2016 di Malang, di rumah Dr. Taufiqi (almarhum) saya menjadi bagian sejarah yang hadir. Kopdar pertama menjadi pondasi awal untuk komunitas ini selanjutnya. Dari kopdar ke kopdar spirit literasi selalu digaungkan kepada anggota maupun masyarakat luas. Komitmen untuk terus menulis dicharge. Impian untuk memiliki karya buku sendiri dicerahkan jalannya. Serta rasa persaudaraan dipupuk dan dieratkan kembali.
Meskipun tidak bisa menghadiri semua kegiatan kopdar yang dihelat, tetapi selalu ada komitmen untuk berusaha mengikuti kopdar ke kopdar. Kedekatan dunia maya, diintimkan di dunia nyata. Salah satunya kopdar yang terakhir, kopdar ke-10 (2023), yang diadakan di Unesa, saya niatkan untuk hadir. Setelah absen beberapa kopdar, dan absen tidak stor tulisan wajib, ada rasa bersalah dan ingin menebus dosa. Sayangnya, manusia hanya berencana Tuhan yang menentukan. Saya harus pamit, karena ada kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Aturan di komunitas literasi Sahabat Pena Kita, dalam urusan tulis menulis ada yang namanya setoran wajib bulanan yang telah ditentukan temanya. Bagi yang mbalelo akan mendapatkan pontol merah. Pentol merah akan menjadi kartu merah yang akan membuat anggota komunitas “diusir” dari grup SPK terhormat ini. Sejak terdaftar sebagai mahasiswa S3 di Universitas Ibn Khaldun Bogor, saya masih bisa mengikuti dengan baik. Karena memang tradisi yang saya bangun taat aturan. Terkadang menulis harus dipaksa, tidak hanya menunggu mood yang kadang tidak kunjung datang. Namun, saat proposal penelitian sudah di ACC, maka saya harus mengambil sikap prioritas. Mulai satu persatu pentol merah bermunculan, bahkan mencapai maksimal untuk diganjar kartu merah. Dengan pendekatan persuasif, saya meminta izin untuk off menulis untuk beberapa bulan untuk menyelesaikan disertasi terlebih dahulu.
Alhamdulillah, setelah berkontemplasi selama 8 bulan, sidang tertutup bisa dilaksanakan. Waktu 8 bulan juga menunjukkan 8 kali tidak setor tulisan wajib. Maka pasca sidang tertutup dan kopdar yang ke-10, saya berkomitmen kembali untuk aktif. Ini adalah tulisan pertama setelah vakum dalam penelitian. Semoga tetap istikomah.