Catatan Kreatif dan Produktif Menulis

Konsisten, Persisten, Kualitas

0
2194

Saya mendengar nama Gus Ulil pertama kali itu dari Almarhum Mas Hernowo. Mas Her itu semangat sekali kalau membahas topik yang dibawakan Gus Ulil. Mas Her bisa bercerita banyak, menceritakan kembali penuturan Gus Ulil tentang topik tertentu. Saya sendiri belum pernah menyimak penuh tayangan youtubenya.

Saat  Gus Ulil  menjadi narasumber di Kopi Daring ke 6,  Sahabat Pena Kita 6-7 Februari 2021 barulah saya menyimak benar gaya penuturan yang begitu alamiah, punya sudut pandang sendiri  untuk melihat tentang suatu masalah.

Namun, ada satu kesamaan beliau yang saya rasakan, bahwa saat ini generasi muda tak banyak yang punya kemampuan menulis. Dan pada umumnya beliau kecewa dengan kualitas menulis generasi muda.  Beliau kecewa sebab menulis yang dimaksud beliau bukanlah sekedar menulis atau mencatat yang didengar atau apa yang dibaca. Menulis yang dimaksud adalah kemampuan mengeluarkan buah pikirnya dari hasil olah pikir yang didapat baik dengan mendengar atau pun dengan membaca.

Menulis yang dimaksud disini bukanlah, memindahkan apa kata orang, atau apa yang terbaca, tetapi menuliskan hasil penghayatan atas apa yang didengar, dilihat, dikecap dan dibaca, sehingga menghasilkan isi tulisan yang padat, berkualitas yang merupakan saripati dari apa yang diindrawikan dan apa yang dipahaminya.

Dalam proses kreatif itu ada hirarki, menurut level High Order Thingking Skill disingkat HOTS

Nah, HOTS sendiri merupakan bagian dari ranah kognitif yang ada dalam Taksonomi Bloom dan bertujuan untuk mengasah keterampilan mental seputar pengetahuan. Ranah kognitif versi Bloom ini kemudian direvisi oleh Lorin Anderson, David Karthwohl, dkk. pada 2001. Urutannya diubah menjadi enam, yaitu: Mengingat (remembering),Memahami (understanding),Mengaplikasikan (applying),Menganalisis (analyzing),Mengevaluasi (evaluating), Mencipta (creating)

Tingkatan 1 hingga 3 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS), sedangkan tingkat 4 sampai 6 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).

Menulis yang memberdayakan dan penuh makna seyogjanya dihasilkan dari tingkatan ke 6, setelah melampai urutan 1 sd 5. Maka, wajar jika untuk menulis yang berkualitas seperti yang Gus Ulil harapkan dapat dihasilkan oleh seorang penulis, itu bukan perkara mudah.

Menurut Gus Ulil, dan saya sepakat bahwa menulis itu ada upaya yang menunjukkan kenaikan level seorang penulis.

Pertama adalah soal konsistensi ( ajeg, teratur, terus-menerus )  dan saya menambahkan persisten ( tangguh- sabar – ulet ). Saya sepakat bahwa tulisan yang dibuat dengan konsisten itu punya banyak keutamaan. Konsistensi ini akan menjadi batu bata bagi tulisan yang berkualitas. Tulisan yang berkualitas bisa dibangun dari konsistensi yang dilakukan. 

Kedua, beliau menyandingkan konsistensi ini dengan mutu atau kualitas tulisan. Mutu ini bisa diukur dari banyaknya tulisan, dan atau bobotnya tulisan. Seorang penulis ada yang mampu melahirkan banyak tulisan dalam setahun, tetapi tidak selalu menghasilkan karya yang berdampak luas. Meskipun konsistensi sendiri juga bukan perkara mudah, misalnya menjadi penulis yang mampu menulis 365 hari dalam setahun secara konsisten. Sebuah prestasi yang tidak semua orang bisa.

Namun, mungkin yang dimaksud Gus Ulil dengan kualitas adalah di dalam tulisan itu ditemukan pergulatan pemikiran, pergulatan ide, gagasan  – dialektika – sehingga pada satu titik mampu menunjukkan cara pandang yang unik dari sudut pandangnya penulis sendiri – point of view – dan ini menjadi ide orisinalnya sang penulis – pada profesi akademis level doktoral, dengan risetnya harus mampu melahirkan hasil penelitian sebagai “state of art” dan “novelty” keterbaruan ilmiah yang membedakannya dengan hasil penelitian orang lain.

Menyimak paparan Gus Ulil dan Mbak Nurul, maka menulis ternyata melibatkan cara pandang kuantitatif dan kualitatif. Versi Mbak Nurul, secara kuantitatif tulisan yang lahir dengan sangat produktif mendapat tempat, dan menurut Gus Ulil secara kualitatif tulisan yang berbobot juga mendapat tempat. Dua jalan ini bisa jadi pilihan bagi penulis, mungkin sekali penulis pemula akan baik jika mulai dari produktifitas, menjaga konsistensi dalam menulis, dan ini jujur saja bukan perkara mudah. Sejalan dengan konsistensi yang sudah dapat dipenuhi, maka dia bisa meningkat untuk menulis secara kreatif yang melibatkan pertarungan ide dan gagasan, sehingga menghasilkan mutu tulisan yang punya value ( nilai ). Jika kita merujuk pada profesi penulis di media massa, jurnalis misalnya secara profesional dia harus memenuhi kuantitas tulisan, sebab halaman media massa tak bisa menunggu ilham, rubrik-rubrik di mesia massa harus terisi dan terdelivery kepada pembacanya dalam 1×24 jam. Maka saya bisa memahami bahwa Gus Ulil menjadi amat produktif dengan latar belakangnya sebagai jurnalis. Namun demikian saya yakin semakin banyak tulisan yang dibuat semakin merangsang kehausan untuk meningkatkan kualitas tulisan. Maka kita akan menemukan sosok Gus Ulil yang seperti saat ini.

Jika demikian maka,kita bisa memilih apakah mau menjadi penulis yang kuantitatif atau penulis yang kualitatif. Jika saya boleh berniat, tentu saja saya ingin keduanya. Menulis secara kuantitatif, namun juga dapat melahirkan tulisan yang lebih kualitatif. Jika merujuk pada tema di atas, Kreatif dan Produktif Menulis maka tema ini mewakili kedua nilai kualitatif dan kuantitatif. Untuk menulis kreatif maka pendekatan yang dilakukan adalah mengupayakan kualitas, dan untuk menulis produktif maka pendekatan yang dilakukan adalah mengupayakan kuantitas. Gabungan keduanya merupakan hal sangat luar biasa, dan perlu diperjuangkan secara konsisten.

Terakhir Gus Ulil menyampaikan tulisan itu kalau bisa berdampak. Bukan hanya sekali baca, selesai dan tidak meninggalkan gaung.

Saya coba merangkai antara konsistensi, kualitas dan dampak.

Konsistensi yang kuat (ajeg, teratur, berkesinambungan) secara ideal akan meningkatkan kualitas baik secara kuantitatif atau pun kualitatif.  Nah, dua hal inilah yang kemudian menghasilkan resonansi yang gaungnya meluas. Gaung itu bukan sekedar dibaca, didengar dan diperhatikan orang banyak, saya kira menurut Gus Ulil yang dimaksud dampak adalah seberapa kuat tulisan itu bermanfaat bagi orang, sehingga orang yang membaca bisa tercerahkan, bahkan mungkin bisa berubah.

Riset  kecil saya di Media Sosial tentang Penulis populer di Indonesia, nama Andrea Hirata selalu masuk sebagai penulis terpopuler, penulis yang dikenal publik. Mengapa bisa demikian, dulu saat novel pertama beliau muncul dan menjadi dikicaukan banyak orang – lepas dari keunggulan strategi marketing penerbit, momentum dan kondisi masyarakat – ternyata ada testimoni pembaca yang menyampaikan bahwa, setelah membaca novel perdana Andrea Hirata itu, dia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Meskipun secara kuantitatif dampaknya yang terbukti hanya satu orang, namun secara kualitatif dampaknya sangat mendalam sebab tulisannya mampu menyadarkan, memberi cara berpikir yang berbeda, mampu mengurungkan niat buruk, berpeluang menyelamatkan masa depan seseorang, bahkan mampu menghindarkan seseorang dari takdir buruknya.

Buku-buku yang dilarang beredar di sebuah negara, biasanya adalah buku-buku yang isinya memberi dampak kuat bagi sang pembaca. Isi buku itu mampu mensetting ulang pemikiran pembaca, dan berakhir pada tindakan pembaca.

Maka menulis berdampak, sangat bagus namun dampaknya ini terkadang tak bisa kita kendalikan apakah akan positif atau negatif didalam benak pembaca. Sebab itu pula, kita mesti membingkai pikiran kita dalam bingkai tuntunan Allah Swt, agar pemikiran yang tersampaikan lewat pilihan diksi yang berdaya magis tersampaikan dengan benar dan baik sehingga berdampak positif dibenak pembaca dan melahirkan tindakan positif pula.

Teteskan ilmu hingga ke akar rumput.
Menulislah secara konsisten, berkualitas dan berdampak.

Wallahu A’lam Bishawab

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here