Kebutuhan Anak yang Sering Dilupakan Para Orang Tua
Oleh : Ahmad Tri Sofyan
Saat lelah mengasuh anak, coba pikirkan dan rasakan bagaimana pedihnya orang yang sudah lama mendambakan kehadiran buah hati tapi belum Allah karuniai. Ada yang sudah berjuang dengan mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk memperoleh keturunan, tapi karena Allah belum berkehendak, nyatanya usaha itu belum membuahkan hasil.
Jika para ayah bunda bisa sadar dan berpikiran semacam ini ketika timbul rasa lelah dalam mendidik anak, niscaya tidak akan terjadi amarah dan omelan orang tua terhadap anak. Apabila para orang tua senantiasa menyadari bahwa kehadiran anak dalam rumah tangga adalah karunia yang sangat besar, maka tidak akan ada bentakan demi bentakan yang dikeluarkan oleh orang tua terhadap anak.
Sayangnya, saat ayah atau bunda sedang sibuk dengan pekerjaan dan merasa lelah, tingkah laku anak yang sebetulnya lucu dan menggemaskan kadang tidak nampak. Yang terlihat hanya sisi negatifnya. Seolah ajakan anak untuk bermain adalah gangguan besar yang perlu disingkirkan. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan anak seolah menjadi tambahan beban bagi orang tuanya.
Kadang merasa lelah dalam mengasuh dan mendidik anak adalah hal manusiawi. Tapi menjadi tidak baik jika hal ini terjadi terus menerus bahkan merasakan kehadiran anak bukan suatu anugerah yang besar melainkan beban hidup yang memberatkan. Tidak dipungkiri bahwa ayah atau bunda biasanya sudah membanting tulang mencari nafkah, tapi bukan berarti ini menjadi pembenaran untuk tidak mengasuh dan membersamai anak dengan baik.
Kehadiran sosok ayah dan bunda bagi seorang anak itu sangat penting. Dunia anak adalah dunia bermain, butuh perhatian dan empati dari orang tuanya, memerlukan sosok untuk dijadikan teladan, dan tidak hanya butuh pemenuhan kebutuhan jasmani dari orang tua melainkan juga butuh pemenuhan kebutuhan rohani.
Anak-anak yang sangat cerdas, terbiasa dijejali pengetahuan tanpa dibangun empati dan komitmen hidup yang kokoh, justru lebih mudah mengalami stres. Anak-anak yang memiliki otak cemerlang tetapi kurang tertata tujuan hidupnya, tidak terbiasa menghadapi tantangan, kurang memperoleh kasih sayang serta tidak terbina keyakinannya/akidahnya, justru sangat rentan frustasi. (Fauzil Adhim, 2009 : 108).
Saat mengajar di sekolah dasar, saya pernah mendapati seorang siswi yang terlihat murung dan kurang konsentrasi dalam mengikuti pelajaran. Penasaran dengan keadaannya, saat istirahat saya ajak anak itu untuk ngobrol empat mata. Semakin kaget saya saat mendengarkan ceritanya. Ia terlahir dari orangtua yang berada. Tapi kedua orangtuanya sibuk dan jarang membersamai anak tersebut. Ia justru banyak diasuh oleh pembantunya. Anak ini merasa hampa dan gersang jiwanya. Ia merasa sedih, meskipun secara materi sebetulnya terpenuhi.
Pada kasus lain, saya mendapati seorang siswa yang saya beri tambahan materi atau privat di rumahnya. Orang tua dari anak ini juga sangat mapan secara ekonomi. Rumahnya besar dan mewah, mobil Alphard dimiliki, Motor Gede juga ada. Anak ini mau jajan apa saja juga sangat mudah terpenuhi, bahkan saat saya mengajar privat di rumahnya juga kadang sekalian dibelikan jajan yang ia pesan. Nonton di bioskop juga sudah menjadi langganan. Secara materi, anak ini terlihat tidak ada yang kurang. Orangtua juga terlihat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Tapi anehnya beberapa kali anak ini menyampaikan kepada saya bahwa hidupnya hampa, kurang bahagia. Bahkan, yang lebih mengagetkan ia pernah menyampaikan kalau ingin mati saja.
Kasus kedua ini menyadarkan saya bahwa kehangatan dari orangtua sekaligus penanaman nilai-nilai keagamaan sebagai makanan rohani bagi anak sangat diperlukan. Jiwa yang merasa puas dan damai akan menjadikan anak semangat dalam menjalani hidup sekaligus tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan.
Anak-anak yang merasa hampa hidupnya dan ingin mengakhiri kehidupannya memang belum terlihat merugikan orang lain. Perilakunya belum sampai menyakiti dan mendzalimi orang lain. Akan tetapi, jika ini dibiarkan terus menerus bisa menjadi bibit yang akan menyuburkan perilaku yang bisa membahayakan dan merugikan orang lain.
Anak-anak bermasalah di belahan bumi mana pun, lepas dari pengaruh lingkungan dan media, penyebab utamanya adalah kurang perhatian atau overdosis perhatian. Kalau tidak terlalu dibebaskan, ya terlalu dikekang. (Ihsan Baihaqi, 2018 : 114)
Dari paparan di atas, saya sebagai otang tua merasa perlu terus menambah pengetahuan dalam mendidik anak sekaligus perlu terus mengasah kepekaan terhadap kebutuhan anak, terutaman kebutuhan rohani disamping kebutuhan jasmani. Jangan sampai kita sebagai orangtua merasa sudah berjuang sekuat tenaga, tapi ternyata anak belum merasa mendapatkan apa pun.
Tugas terberat orang tua sebetulnya bagaimana mengarahkan dan menata tujuan hidup si anak, memberikan pondasi yang kuat tentang penanaman nilai-niai akidah, dan memberikan limpahan kasih sayang yang tulus pada anak. Hal ini harus dijalani berbarengan di saat orang tua sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik anak.