“Didiklah dan latihlah anak-anakmu dengan seksama
karena mereka akan hidup di zaman yang bukan zamanmu.”
~ Umar bin Khatab ~
Sunggauh tidak mudah menjadi orang tua di zaman sekarang. Padahal, jumlah anggota keluarga saat ini tidaklah seperti zaman dulu. Rata-rata orang tua zaman sekarang beranak 3-4 orang saja. Itu pun mereka tidak mengasuh kepanakan dan cucu sekaligus sebagaimana lazim pada zaman kakek nenek kita dulu. Sudahlah beranak banyak, menanggung beban keponakan yang ikut tinggal bersama mereka pula. Inilah yang disebut dengan istilah keluarga besar (extended family). Sekarang, pada umumnya, terbentuk hanya keluarga inti saja (nuclear family). Namun demikian, walau jumlah anggota keluarga relatif lebih sedikit tetap saja urusan mendidik anak bukan perkara mudah. Menagapa hal ini terjadi? Jawabnya, karena zaman sudah berubah dan perubahan pun terjadi di segala bidang sehingga tugas orang tua juga berubah.
Idiom “banyak anak banyak rejeki” mulai dikritisi. Banyak keluarga muda memulai hidup berumah tangga dengan perencanaan dan diskusi panjang. Bukan saja masaah finansial, pekerjaan dan karier, pendidikan dan hiburan, melainkan juga soal anak. Anak menjadi salah satu titik sentral pembahasan para pasangan muda. Ada kecendrungan dunia saat ini, banyak generasi muda lebih memilih menunda punya anak atau bahkan ada tren baru yaitu ingin bebas dari memiliki anak (child free). Sungguh seuatu pandangan pemikiran mutakhir yang juga mengkhawatirkan masa depan keberlanjutan populasi manusia. Negara-negara seperti Jepang dan Korea, orang mudanya Sudah ogah punya anak. Di Jepang bahkan jumlah generasi lansianya mencapai angka tertinggi dan mereka kekurangan tambahan penduduk akibat lambat bahkan nol pertumbuihan pertambahan angka kelahiran bayi.
Di negara lain yang masih memegang tradisi “banyak anak banyak rejeki” seperti di Indonesia ini, bagi generasi milenial mungkin mereka mulai berpikir ulang. Apalagi di kalangan generasi Z. Sepertinya merek lupa, bahwa mereka sebelum sebesar atau sedewasa saat ini, mereka juga berstatus sebagai anak.
Penulis memahami bahwa alasan dan motivasi para orang tua dengan konsep sedikit anak karena menghadapi kenyataan biaya hidup tidak murah dan tidak mudah mendapatkannya. Apalagi jika pemerataan ekonomi dan fasilitas sarana dan prasaran tidak atau belum berlaku adil sehingga orang tua khawatir akan masa depan putra putrinya. Orang tua mana yang ingin anak-anak mereka hidup susah. Sudah pasti mereka memimpikan anak-anak yang hidupnya jauh lebih baik dan sukses daripada diri mereka sendiri. Kekhawatiran ini lebih cenderung karena faktor ekonomi. Sebab zaman sekarang nyaris segala-galanya dilandaskan karena faktor uang. Ada uang sesgala sesuatu lebih mudah didapatkan.
Menyiapkan Masa Depan Anak
Pendidikan merupakan salah satu landasan pokok kehidupan. Kenyataannya, orang tua yang terdidik, baik yang ditenpuh melalui jenjang pendidikan formal, informal maupun nonformal, kualitas hidup dan cara berpikir (mindset) mereka berbeda dan jauh lebih baik daripada mereka yang tidak merencakan dan mengenyam faktor pendidikan sebagai sarana belajar kehidupan. Hidup yang hanya didapat melalui meniru kebiasaan secara turun temurun, sementara kemajuan zaman dengan teknologinya semakin canggih, maka mereka akan menjadi golongan yang tertinggal dan mundur. Lebih fatal lagi mereka akan termasuk sebagai kaum tertinggal. Hal ini tidak saja menjadikan diri mereka tidak menjadi subyek tetapi juga akan menjadi beban dan masalah bangsa dan peradaban. Inilah salah satu penting dan bermanfaatnya pendidikan itu bagi perbaikan dan keberlanjutan peradaban. Jika masih ada orang tua berpikir bahwa pendidikan itu sudah cukup terpenuhi sampai dengan kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung saja, boleh jadi siap-siaplah anak-anak mereka akan menjadi subordinasi atau objek bagi golongan di atasnya yaitu golongan terdidik.
Menjadi bagian dari tugas pokok orang tua untuk membuat perencanaan yang matang ketika sebagai dua insan yang akan membina rumah tangga, memasukkan faktor anak sebagai bagian terpenting dari perencanaan berkeluarga. Setelah punya anak, memberikan pendidikan terbaik sesuai dengan kemampuan orang tua menjadi langkah kedua menuju masa depan anak yang lebih baik. Pendidikan yang dimaksud tentu dalam artian luas yaitu pendidikan yang menjadi bekal bagi hidup anak jauh lebih baik bagi masa sekarang dan masa depan nantu. Misalnya, pendidikan dalam hal agama, ilmu pengetahuan, ketrampilan, maupun akhlak. Dengan demikian maka usaha dan kerja keras orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarganya punya arti dan orientasi yang jelas dan pasti yaitu demi masa depan anak-anak yang lebih baik.
Ketika usia anak bertambah besar, tentunya orang tua mempunyai keterbatasan dalam mengasuh dan mendidik mereka. Perlunya bantuan peran sekolah, pelatih, pendamping maupun support system lainnya, akan menjadikan anak-anak lebih banyak punya bekal yang mereka terima. Tentu saja semua proses tersebut di bawah pengawasan orang tua. Bukan menyerahkan bulat-bulat Anak kepada pihak lain sekalipun mereka kompeten di bidangnya. Anak kita tetaplah anak kita. Bukan anak mereka.
Zaman Anak Berbeda dengan Zaman Orang Tua
Satu hal yang harus kita sadari sebagai orang tua adalah jangan pernah berpikir zaman anak kita sama dengan zaman mereka hidup. Tidak akan sama. Kita, orang tua, sesungguhnya sudah membuktikan ketika membandingkan zaman kita dengan zaman orang tua kita. Begitulah seterusnya. Jadi, tugas kita adalah menyiapkan hal terbaik agar masa depan Mereka sesuai dengan zamannya.
Misalnya, kalau sekarang orang tua gaptek (gagap teknologi) menggunakan perangkat alat komunikasi seperti ponsel pintar, lalu melarang anak-anaknya menguasai teknologi modern di zaman kita itu, tak ayal aanak-anak kita akan lebih tertinggal lagi daripada orang tuanya. Apabila ketakukan orang tua akan sisi negatif melek teknologi, justru bukan dengan melarang anak menguasainya namun bimbing dan ingatkan agar mereka tidak menyalahhgunakan penggunaan ponsel tersebut ke arah negatif. Ini hanya sebuah contoh nyata saja.
Penulis pikir, bekal terbaik bagi masa depan anak-anak kita agar supaya mereka menjadi orang yang menang, bahagia dan selamat di zaman mereka remaja dan dewasa kelak adalah dengan terus menerus mengawal anak-anak dalam masa pertumbuhan dan perkem,bangannya hingga mereka mandiri. Benarlah konsep pendidikan yang dikatakan Ki Hajar Dewantoro: Ing ngarso sung tulodo; Ing madya mangun karso; Tut wuri handayani. Orang tua harus tahu kapan ia berada di depan, di tengah dan di belakang anak. Ini semua demi memanusiakan anak sebagai manusia utuh dan beradab.
Akhirnya, apa yang dipesankan Umar bin Khatab di atas, perlu kita renungkan dan camkan baik-baik. Anak tetaplah manusia yang siap dilatih dan dibiasakan. Mereka hidup dari ketika lahir ke bumi melewati hari demi hari hingga ia sampai di zamannya yang bukan lagi zaman kita orang tuanya. Oleh karena tak seorang pun tahu tentang masa depan maka apa yang kita ketahui di masa sekarang, kita jadikan sebagai daya upaya membesarkan anak-anak demi masa depan mereka yang lebih baik daripada orang tua mereka. Orang tua mana yang tidak bersyukur dan banggga ketika menyaksikan anak-anaknya hidup sukses, bahagia dan ilmu yang telah mereka dapatkan bermanfaat bagi kehidupan. Semoga anak-anak kita bagian dari mereka yang sehat, sukses dan bahagia di masanya. Wallahua’lam.