https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/1200x-/news/2020/09/50c905db5493d860c86f1102ad31a1b5.jpg

MEMBANGKITKAN KEMBALI KEJAYAAN BANGSA MELALUI PENGUATAN JIWA NASIONALISME

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

 

Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai bangsa yang besar dan kuat. Di masa lalu, bangsa Indonesia (baca: Nusantara) merupakan bangsa yang dihormati dan disegani oleh bangsa-bangsa lain karena kemajuan dan kekuatannya. Dalam website Kementerian ESDM Republik Indonesia (https://www.esdm.go.id/) dinyatakan bahwa di Sumatera pernah berdiri kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim yang berpengaruh luas bukan hanya atas Sumatera, tetapi juga atas Jawa dan Kalimantan dan bahkan hingga ke Semenanjung Malaysia, Kamboja, Vietnam, Thailand Selatan serta Filipina. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya berasal dari Abad Ke-7 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang (Wacik, 2012).

Pada masa itu Sriwijaya menjadi pusat pembelajaran agama Buddha dan ramai dikunjungi para peziarah dan tokoh-tokoh agama Budha. Dalam politik, Sriwijaya disegani oleh negara-negara lain. Dalam perdagangan, Sriwijaya yang menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda mengontrol jalur perdagangan antara dua pusat utama yaitu India dan Cina. Sriwijaya memiliki banyak komoditas antara lain kapur barus, kayu gaharu, kapulaga, gading, emas, dan timah yang membawa kemakmuran bagi Sriwijaya. Sejarah juga mencatat pada masa Sriwijaya inilah berkembang bahasa Melayu sebagai lingua franca ke seluruh penjuru Nusantara. Kita dapat menyaksikan candi-candi peninggalan kerajaan ini seperti Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Sewu (seluruhnya di Jawa Tengah) serta Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus dan Biaro Bahal (di Sumatera Selatan) (Wacik, 2012).

Sebuah teori kehidupan mengatakan bahwa bangsa-bangsa yang pernah besar dalam sejarahnya di masa lalu cenderung akan mengalami kembali kebesarannya di masa yang akan datang. Atau dengan kata lain, bangsa-bangsa yang bisa besar sekarang dan di masa mendatang adalah bangsa-bangsa yang pernah besar di masa lalu (Wacik, 2012). Melihat sejarah kejayaan bangsa Indonesia di zaman dulu, maka seharusnya bangsa Indonesia bisa mengulang kembali siklus kejayaan tersebut. Bangsa Indonesia mempunyai potensi besar untuk menjadi bangsa yang besar dan maju. Hal itu karena bangsa Indonesia mewarisi DNA bangsa yang besar dan maju. Sudah waktunya bangsa Indonesia kembali bangkit dari keterpurukan untuk bangun dan menunjukkan kehebatannya sebagai bangsa yang besar, maju, makmur, dan terhormat.

Untuk bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang besar dan dihormati, harus dimulai dari ditumbuhkannya rasa nasionalisme pada setiap warga Indonesia. Setiap orang Indonesia harus bangga menjadi warga negara Indonesia. Setiap orang Indonesia harus bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan. Setiap orang Indonesia harus menjunjung tinggi simbol-simbol negara Indonesia. Apakah sikap-sikap seperti itu sudah dipraktikkan oleh warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Mari kita evaluasi kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Kita ambil contoh di dunia pendidikan sebagai representasi dari kasta masyarakat intelektual dan terdidik. Di dunia akademik, khususnya di lingkungan perguruan tinggi, sering menyelenggarakan seminar internasional (international conference) dengan mengundang narasumber dari kampus di luar negeri. Walaupun namanya international conference, umumnya pesertanya kebanyakan dari dalam negeri (orang Indonesia). Jadi mayoritas yang hadir dalam international conference tersebut adalah orang Indonesia yang bahasa utamanya adalah bahasa Indonesia. Tetapi anehnya, panitia penyelenggara membuat aturan bahwa penyampaian materi seminar di dalam acara tersebut menggunakan bahasa Inggris, termasuk narasumber yang dari kampus dalam negeri. Yang menjadi pertanyaan sekaligus keprihatinan adalah mengapa semua peserta seminar harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris? Mengapa tidak menggunakan bahasa Indonesia, toh itu acaranya diadakan di Indonesia dan mayoritas pesertanya juga orang Indonesia. Patut menjadi renungan bersama, yaitu apakah untuk menjadi berlevel internasional, lantas harus meninggalkan bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa asing? Kalau dikawatirkan narasumber dari luar negeri akan mengalami kesulitan jika harus menyampaikan materi seminar dalam bahasa Indonesia, mengapa tidak cukup panitia seminar menyediakan seorang penerjemah atau alat penerjemah bahasa sehingga seminar tetap terselenggara dengan pengantar bahasa Indonesia?

Mari kita lihat bagaimana peraturan resmi Pemerintah Republik Indonesia tentang penggunaan bahasa Indonesia. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 September 2019 disebutkan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia, yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dan/atau masyarakat, baik dengan dukungan maupun tanpa dukungan pihak asing. Dalam forum yang bersifat internasional sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, warga negara asing dapat menggunakan Bahasa Asing dan penyelenggara wajib menyediakan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia (Putra, 2019). Berdasarkan Perpres tersebut terlihat jelas bahwa acara pertemuan ilmiah antarnegara yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi dalam negeri seperti international conference tetap harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, sedangkan orang asing atau narasumber dari luar negeri dapat tetap menggunakan bahasanya sendiri dalam menyampaikan paparan materi dimana lembaga penyelenggara international conference harus menyediakan penerjemah.

Hal yang mirip juga terjadi di dalam dunia perjunalan nasional. Sekarang muncul fenomena pengelola jurnal-jurnal nasional terakreditasi Sinta juga mensyaratkan penulis artikel jurnal harus mengirimkan artikel dalam bahasa asing (umumnya bahasa Inggris). Aneh sekali bukan? Jurnal nasional terbit di Indonesia, penerbitnya penerbit dalam negeri, penulisnya orang Indonesia, pembacanya juga mayoritas orang Indonesia, tetapi mengapa harus ditulis dalam bahasa asing? Jika tujuan penulisan dalam bahasa asing agar artikel-artikel jurnal yang dipublish juga dapat dibaca oleh orang asing, mengapa tidak cukup abstraknya saja yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris, sedangkan isi artikel jurnal tetap disajikan dalam bahasa Indonesia? Bagaimana jika ada orang luar negeri yang ingin membaca artikel jurnal kita? Biarkan mereka sendiri yang menerjemahkan ke dalam bahasa negara mereka, bukan kita yang harus melayani mereka dengan menyesuaikan bahasa mereka dan meninggalkan bahasa sendiri. Sama seperti kita ketika mau membaca artikel jurnal berbahasa asing, kita sendirilah yang harus menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Perhatikan kembali isi Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres ini juga menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan.  Lembaga sebagaimana dimaksud terdiri atas lembaga pemerintah dan lembaga nonpemerintah. Adapun laporan sebagaimana dimaksud berupa: a. laporan pengelolaan kegiatan; b. laporan pelaksanaan tugas kedinasan; c. laporan kegiatan masyarakat; d. laporan pengaduan masyarakat; dan/atau e. laporan lain. Bahasa Indonesia, menurut Perpres ini, juga wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia, berupa: a. disertasi; b. tesis; c. skripsi; d. laporan tugas akhir; e. laporan penelitian; f. makalah; g. buku teks; h. buku referensi; i. prosiding; j. risalah forum ilmiah; k. jurnal ilmiah; dan/atau 1. karya ilmiah lain (Putra, 2019). Jadi sudah sangat jelas sekali bahwa jurnal-jurnal nasional yang terbit di dalam negeri harusnya tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisannya. Walaupun jurnal-jurnal nasional tersebut tidak sesuai dengan Perpres Nomor 63 Tahun 2019, mengapa tetap mendapatkan status akreditasi dari pemerintah?

Melihat fenomena di atas, muncul keprihatinan di hati kita semua, ada apa dengan bangsa Indonesia saat ini? Mengapa rakyat Indonesia tidak bangga menggunakan bahasa Indonesia yang notabene merupakan bahasa negaranya sendiri? Setiap tahun tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda untuk mengenang bagaimana dahulu para pahlawan pendiri bangsa memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tetapi mengapa sekarang setelah merdeka, rakyat Indonesia ada kecenderungan tidak bangga menggunakan bahasa Indonesia? Lebih memprihatinkan lagi adalah hal itu terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam meneruskan perjuangan para pahlawan untuk  menjunjung tinggi bahasa Indonesia dengan cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di forum-forum ilmiah dan penulisan karya ilmiah.

Kebanggaan terhadap simbol-simbol kenegaraan merupakan pondasi dasar nasionalisme. Sikap nasionalisme harus ditunjukkan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa nasional harus menjadi bahasa utama dalam komunikasi sehari-hari, khususnya dalam acara-acara yang diselengarakan di dalam negeri, walaupun melibatkan orang asing. Setiap warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Para pahlawan pendiri bangsa Indonesia pada acara Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 ketika mendeklarasikan Sumpah Pemuda telah berikrar dan bertekat bulat akan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan: “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Apakah kita yang sekarang ini tinggal menikmati kebebasan dan kemerdekaan tidak malu dengan para pahlawan pendiri bangsa Indonesia yang telah berjuang mengorbankan segala-galanya demi kemerdekaan Indonesia. Para pahlawan pendiri bangsa telah berkorban harta dan nyawa demi memerdekaan bangsa Indonesia. Para pahlawan pendiri bangsa tidak sempat menikmati hasil perjuangan mereka, tetapi kitalah sekarang yang menikmati hasil perjuangan dan pengorbanan mereka. Apakah berat jika kita meneruskan cita-cita luhur mereka dengan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Wujud konkret dalam menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah dengan menggunakannya dalam setiap percakapan dan keperluan tata tulis resmi. Jika kita lebih sering menggunakan bahasa asing sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulisan, bagaimana bisa kita mengaku telah menjunjung tinggi bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia ada karena hasil perjuangan para pahlawan pendiri bangsa. Wujud dari menghormati jasa para pahlawan pendiri bangsa adalah salah satunya dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi lisan maupun tulisan. Ini merupakan bentuk implementasi dari rasa nasionalisme kita terhadap bangsa Indonesia.

Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pernah mengungkapkan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya”. Untuk itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus bisa meneladani semangat dan nilai-nilai kepahlawanan dengan menjadikan pahlawan sebagai panutan. Para pahlawan pendiri bangsa Indonesia telah berjuang untuk kebangkitan bangsa Indonesia dari keterpurukan berada di bawah penjajahan negara lain. Maka sudah saatnyalah seluruh warga negara Indonesia untuk meneruskan perjuangan para pahlawan untuk mewujudkan kejayaan bangsa Indonesia menjadi negara yang maju, besar, sejahtera, dan disegani bangsa lain. Untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut harus dimulai dari adanya jiwa nasionalisme dalam diri setiap warga Indonesia.[]

Gumpang Baru, 13 Mei 2023

Daftar Referensi

Putra, A. P. (2019, October 11). Ada Perpres No. 63/2019, Komunikasi di Kantor Pemerintah dan Swasta Wajib Gunakan Bahasa Indonesia. Retrieved May 13, 2023, from Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi website: https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/ada-perpres-no-63-2019-komunikasi-di-kantor-pemerintah-dan-swasta-wajib-gunakan-bahasa-indonesia

Wacik, J. (2012, Oktober). Siklus 7 Abad Kejayaan Indonesia. Retrieved March 22, 2021, from ESDM website: https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/siklus-7-abad-kejayaan-indonesia

___________________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here