Menormalkan Kehangatan Keluarga di Bulan Ramadhan

0
384

Menormalkan Kehangatan Keluarga di Bulan Ramadhan

Oleh : Ahmad Tri Sofyan

kehangatan keluarga di bulan ramadhan

Mengutip apa yang disampaikan Tarmizi Taher dalam buku 100 Hikmah Ramadhan

(Republika, 2012), bahwa para ahli ilmu jiwa telah meramalkan keadaan keluarga  modern di masa depan. Sebagian meramalkan bahwa kondisi anak yang kedua orangtua nya bekerja, maka akan banyak terabaikan. Sebagian lagi meramalkan bahwa waktu kerja di negara modern menjadi pendek sehingga kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga peluangnya lebih besar.

Momen puasa di bulan ramadhan adalah momen yang tepat untuk kembali membangun keakraban keluarga, mengharmoniskan hubungan keluarga, memperpanjang durasi interaksi antara  orang tua dengan anak,  dan momen yang tepat untuk banyak belajar memperbaiki diri dalam membina kehidupan rumah tangga.

Jika di luar bulan ramadhan tidak ada sahur bersama dan buka bersama, maka di bulan ramadhan kesempatan ini terbuka lebar. Jika di hari-hari biasa jarang mengajak keluarga untuk shalat berjamaah di masjid, maka di hari puasa ini adalah waktu yang tepat untuk memulai mengakarabi masjid bersama keluarga. Jika di luar bulan ramadhan komunikasi banyak tersendat karena banyaknya urusan pekerjaan, maka di bulan ramadhan ini jalinan komunikasi bisa diupayakan untuk lebih baik lagi, karena jam kerja biasanya diperpendek.

Bagaimana jika faktor pekerjaan menjadikan jarak pemisah ruang antara ayah dengan keluarga? Tentu hal ini tidak dipaksakan harus bertemu secara fisik, karena kenyataannya memang banyak keluarga yang tidak bisa bertemu setiap hari. Maka, cara yang bisa diusahakan yaitu dengan menautkan hati pada keluarga yang terpisah jarak. Selain itu, komunikasi jarak jauh melalui teknologi yang tersdia di era modern juga bisa lebih diintensifkan lagi. Misalnya dengan cara membangunkan saat akan makan sahur, video call saat akan berbuka, dan mengajak untuk melaksanakan shalat isya dan tarawih saat waktunya tiba.

Anak-anak yang tumbuh dengan kehangatan dan merasa puas jiwanya, insya Allah kelak akan menjadi generasi yang sehat jasmani rohani dan kesuksesan juga akan menyertainya. Sementara anak yang hanya dipenuhi kebutuhan materi, bahkan cenderung dimanjakan tapi kehangatan jiwanya tidak dibangun, maka ia akan menjadi pribadi yang rapuh. Bukankah kita sering menjumpai berita-berita terkait perilaku anak di bawah umur yang sudah melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain? Ini terjadi karena minimnya interaksi positif dan kehangatan yang dibangun dari dalam keluarga.

Belum lama ini, kita juga dihebohkan oleh anak seorang pejabat yang sering memamerkan harta kekayaan ayahnya, bahkan arogansi dari anak ini dilampiaskan pada oran lain dengan cara menganiaya sampai menimbulkan luka dan kerugian pada orang lain. Apakah hanya anak yang melakukan perilaku kesombongan dan penganiayaan yang rugi? Tidak! Orangtuanya juga ikut dirugikan. Jabatannya dicopot, hartanya juga akan dilacak oleh KPK. Kasus ini seyogyanya memberikan pelajaran kepada kita para orangtua untuk senantiasa menyeimbangkan diri antara aktivitas di luar dengan aktivitas di dalam rumah. Tentu saja aktivitas yang positif dan mengantarkan pada keberkahan keluarga.

Harta yang dimiliki seharusnya membawa manfaat, bukan bencana. Terkait dengan keberadaan harta, para orangtua seharusnya mencontoh apa yang dilakukan oleh Abu Thalhah. Abu Thalhah merupakan sahabat nabi yang memperoleh informasi terkait turunnya surat Ali Imran ayat 92. Terjemah dari ayat tersebut yaitu “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya.” Saat mengetahui ayat ini, Abu Thalhah segera menyampaikan kepada nabi bahwa ia berniat menyedekahkah birha’ (sebuah kebun yang paling ia cintai dan berada persis di depan masjid).

Bagaimana hal ini bisa terjadi jika dalam diri Abu Thalhah tidak ada ketauhidan yang tinggi sekaligus pemahaman akan Al Qur’an yang mendalam? Karena itu, bulan ramadhan juga menjadi momen yang pas untuk menjadikan keluarga akrab dengan Al Qur’an. Mulai dari membaca atau tilawah, menerjemahkan, menghafal, membaca tafsirnya, dan mengamalkan isinya.

Puasa yang kita jalankan semoga bisa memberikan perubahan ke arah yang semakin baik, dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga ayang kita bangun. Mari kokohkan kekuatan keluarga untuk membangun peradaban di negeri ini.

 

Ahmad Tri Sofyan, seorang pembelajar yang memiliki minat dan perhatian tinggi pada kajian-kajian keluarga Islami

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here