Orangtua dan Masa Depan Anak

0
543

”Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang membuatnya yahudi, nasrani maupun majusi”. (H.R. Bukhari Muslim).

“Kita tidak bisa membentuk anak-anak kita menurut konsep kita sendiri; kita mesti menerima dan mencintai mereka dalam keadaan seperti yang diberikan Tuhan kepada kita.”(Johan W. Von Gothe)

TANPA terkecuali, pasti setiap orangtua menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, terutama bidang pendidikan. Sehingga, tidak heran jika para orangtua selalu menginginkan anaknya memperoleh peringkat pertama di kelasnya atau menyabet juara 1 di setiap kali mengikuti perlombaan. Dengan kata lain, orangtua memandang bahwa anaknya dianggap berhasil jika memiliki IQ yang tinggi.

Dari hasil tes IQ tersebut seorang anak akan diberi `label’ sebagai anak yang pintar atau bodoh. Dan biasanya, ada nilai dari beberapa mata pelajaran tertentu yang dipercaya secara signifikan berkorelasi dengan kecerdasan anak tersebut. Salah satunya adalah mata pelajaran matematika. Hal ini menyebabkan banyak orangtua yang `mengagungkan’ mata pelajaran yang satu ini dan mengira bahwa anak-anak yang mampu menggeluti bidang ilmu eksakta lebih cerdas ketimbang anak-anak yang menggeluti bidang ilmu lain.

Namun, pada tahun 1980an, seorang psikolog dari Universitas Harvard bernama Howard Gardner mengubah pendapat itu dengan menyatakan bahwa kecerdasan anak tidak bersifat tunggal. Kecerdasan ada beraneka ragam. Dan setiap orang, termasuk anak-anak, memiliki karakteristik kecerdasan yang berbeda-beda. Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas.

Pendapat senada diungkapkan oleh Thomas Armstorng (2000), mengatakan bahwa semua anak itu pintar! Semu anak pada dasarnya cerdas dan ceria. Hanya saja kecerdasan uniknya mungkin kurang cocok dengan sistem pendidikan yang lebih menekankan ketrampilan 3M, menulis, membaca, dan matematika.

Howard Gardner menyatakan terdapat delapan kecerdasan pada manusia yaitu: kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, kecerdasan matematis logis, kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.

Tugas orangtua dan pendidik-lah mempertahankan sifat-sifat yang menjadi dasar kecerdasan anak agar bertahan sampai tumbuh dewasa, dengan memberikan faktor lingkungan dan stimulasi yang baik untuk merangsang dan mengoptimalkan fungsi otak dan kecerdasan anak.

Berpijak pada pendapat Gardner di atas, maka dalam hal menyiapkan pendidikan anak, orangtua (termasuk guru di sekolah) harus dapat menemukan kecenderungan kecerdasan yang dimiliki anak, yang kemudian kecerdasan tersebut dikembangkan dengan pendekatan yang benar. Dengan menyelenggarakan pendidikan berbasis kecerdasan yang dimiliki anak ini, maka anak akan enjoy dalam belajar, sehingga keberhasilan pendidikan sang anak merupakan keniscayaan. Selain itu, orangtua juga harus dapat memfasilitasi permainan yang sesuai dengan kecenderungan kecerdasan anak. Karena hal ini dapat mempengaruhi gaya belajar.

Pada prinsipnya, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya, sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa, serta membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. Setiap manusia berkembang secara individual dan tidak sama antara satu dengan yang lain, ada yang berkembang secara wajar, cepat dan ada pula yang lambat perkembangannya.

Setiap orangtua, seyogianya selalu memperhatikan fase status setiap perkembangan anak. Yaitu tujuh tahun pertama, anak adalah Raja; tujuh tahun kedua, menjadi Pembantu (yang harus taat dalam menjalankan perintah); sedangkan tujuh tahun ketiga, menjadi Wazir (menteri) yang bertanggungjawab terhadap tugas-tugasnya.

Setiap anak memiliki kemampuan kecerdasan yang unik dan senantiasa dapat berubah. Anak termasuk individu unik yang mempunyai eksistensi dan memiliki jiwa sendiri, serta mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan iramanya masing-masing yang khas.

Masa kehidupan anak sebagian besar berada dalam lingkup keluarga. Karena itu, keluargalah yang paling menentukan terhadap masa depan anak, begitupula corak anak dilihat dari perkembangan sosial, psikis, fisik, dan religiusitas juga ditentukan oleh keluarga.

Pola asuh yang baik dan sikap positif lingkungan serta penerimaan masyarakat terhadap keberadaan anak akan menumbuhkan konsep diri positif bagi anak dalam menilai diri sendiri. Anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan dapatkan dari lingkungan.

Jika lingkungan masyarakat memberikan sikap yang baik dan positif dan tidak memberikan label atau cap yang negatif pada anak, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif. Orangtua mempunyai tanggung jawab untuk mengantarkan putra-putrinya menjadi seorang yang sukses dan bagi orangtua penting memahami dan memperhatikan perkembangan anak. [ahf]

Abdul Halim Fathani, Pemerhati Pendidikan dan Dosen Prodi Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang.

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here