Dalam seminar kepelatihan menulis, atau bahkan dalam bimbingan personal sekali pun, agar bisa menulis, banyak sekali para motivator kepenulisan yang memberikan tips ini; menulis, menulis, dan menulis. Artinya, kunci dari menulis itu cuman satu; mencoba menulis. Semakin sering mencoba, semakin akan kita terasah. Saya fikir tidak sepenuhnya salah motivasi tersebut. Hanya saja, jika dilihat lebih dalam, ada juga faktor yang tidak bisa diabaikan dalamproses belajar menulis; bakat. Artinya juga, bagi mereka yang berbakat, hanya dengan sekali saja berlatih, atau bahkan mendengar saja, mereka sudah akan mampu memulai. Namun bagi yang tidak memendam bakat, proses memulai penulisan itu akan terasa sedemikian berat.
Dari sini, saya fikir ada dua jalan untuk menjadi penulis; jalan biasa dengan jalan luar biasa. Jalan biasa dilalui oleh mereka yang kurang mempunyai bakat menulis sehingga memang harus berlatih keras dan berulang kali. Jalan luar biasa dilalui mereka yang memang mempunyai bakat tinggi menulis sehingga proses belajar menulis itu dilalui dengan begitu mudahnya baginya. Terutama pada golongan kedua ini, saya ingin menyebut menulis sebagai sebuah panggilan untuk menjalani jejak takdir.
Menjalani Takdir
Merupakan sunnatullah bahwa manusia diciptakan dengan beragam kecenderungan. Keragaman itu dimaksudkan agar setiap yang satu dapat saling tolong menolong terhadap yang lain dengan menggunakan masing-masing kecenderungan tersebut. Maka, di sini saya melihat bahwa perbedaan kecenderungan tersebut tidak lain adalah bagian dari rencana Tuhan untuk menjadikan setiap bayi yang lahir berbeda profesi pada usia dewasanya kelak. Jika memahami kehidupan sebagai sebagai skenario ilahi (divine scenario), maka kecenderungan adalah satu pintu untuk mengetahui peran apa sebenarnya yang akan diambil oleh seorang anak kecil pada usia dewasanya nanti. Karena itu, dalam konteks kepenulisan, menulis itu sendiri adalah bagian dari menjalani jejak takdir sebagai disebutkan di atas.
Sedemikian penting mengetahui kecenderungan kita sehingga kita pun akan tahu apa peran kehidupan yang diinginkan Tuhan kepada kita. Saya tentu saja masih ingat pesan Prof. Irwandi Jaswir, salah satu penerima King Faisal Award dari Padang itu. Dalam sebuah pertemuan ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) di Kuala Lumpur waktu itu, beliau berpesan; lakukan apa yang kamu suka. Sebab, ketika kita melakukan apa yang kita suka, kita tidak akan mudah lelah. Tidak juga kita akan mudah putus asa. Andaikan ada kegagalan pun, maka kita akan mudah bangkit lagi. Jika tidak mudah lelah, maka akan timbul antusiasme. Dan jika sudah antusias, kita sebenarnya tinggal menunggu prestasi.
Dalam kasus saya pribadi, sedari kecil memang saya cenderung suka membaca. Saya suka menyendiri. Sejak usia sekolah dasar, saya suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku sejarah Islam yang cover-nya berwarna merah itu. Tentang perjalanan berbagai Daulah Islamiyyah, dari al-Khulafa’ al-Rasyidin hingga Bani Umayyah dan Abbasiyah. Termasuk juga kisah kericuhan politik yang melegenda antara Umayyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib.
Termasuk ketika membaca sebuah kutipan yang inspiratif, entah bagaimana sering kali tiba-tiba merasa ada perasaan yang begitu saja masuk dalam fikiran saya. Saya masih ingat ketika pertama kali berkunjung ke Gontor 2 di Siman, Ponorogo. Begitu kita masuk pada area Gedung Utama yang membentuk formasi huruf U, seketika itu juga kita akan disambut oleh berbagai ornamen Arab dengan terjemahan latinnya yang mengesankan. Yang jauh lebih mengesankan adalah pesan yang tersimpul dari ukiran huruf-huruf yang indah tersebut. “Hidup sekali, hiduplah yang berarti”; “Bondo, bahu, fikir, lek perlu sak nyawani pisan”; “Ke Gontor, apa yang kau cari?” Seketika itu juga bulu kudu saya terasa bangkit. Saya merasakan déjà vu, masuk pada dunia ketiga yang seakan pernah saya rasakan sebelumnya entah di mana.
Di situ, saya ingin mengatakan bahwa saya merasa bahwa kecenderungan saya memang dalam bidang kepenulisan dan literasi. Terkait fakta bahwa saya belum melahirkan satu buku solo pun, itu persoalan lain, yaitu lebih kepada persoalan manajemen waktu. Artinya juga, kita tidak cukup hanya mengenal dalam bidang apa kita diciptakan untuk berbakat. Namun sudah tahu dalam bidang tertentu pun, itu bukan jaminan lantas kita bisa sukses. Masih ada lagi usaha untuk menerjemahkan keinginan tersebut dalam rencana kerja yang matang.
Karena itu, sering kali saya diskusikan dengan istri saya; itulah pentingnya mempunyai cita-cita. Cita-cita adalah obor. Ia lah penuntun jalan kita di dunia ini. Kita boleh jadi terjatuh, tersesat, dan terperangkap dalam rangkaian perjalanan itu. Namun, ketika obor itu masih di tangan, maka akan selalu ada asa dan kesempatan untuk bangkit. Obor itulah yang akan menuntun kita untuk melanjutkan perjalanan tersebut. Tanpa obor, kita akan tersesat dalam perjalanan kehidupan dunia yang melenakan ini.
Tanpa cita-cita, kita memang akan tetap makan, minum, tidur, bekerja sebagaimana layaknya manusia lain. Namun tanpa terasa, tiba-tiba begitu saja umur ini habis hanya untuk ini dan itu. Tanpa terasa juga bahwa apakah kita sudah cukup memberikan manfaat luas kepada orang lain. Obor inilah yang disebut cita-cita. Maka, benar belaka mereka yang menggantungkan cita-cita itu setinggi langit. Setidaknya, jika pun jatuh, ia akan jatuh di awan yang masih lumayan tinggi. Namun jika cita-citanya setinggi rumah, jika jatuh, ia akan lungsur di atas tanah.
Betapa pun baik menulis, harus diakui bahwa ia bukan satu-satunya jalan mencapai kebahagiaan dan keabadian di dunia ini. Tuhan masih menciptakan dan membuka sekian peran lain untuk diisi orang lain. Namun bagaimana pun juga, sebagaimana diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer; “Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah”.
Merangkai Keabadian
Memang menulis juga bisa menimbulkan dan melahirkan kesejahteraan materiil. Namun jika memang ingin kaya, apalagi dengan cepat, maka sebenarnya menulis bukanlah jalannya. Untuk menjadi kaya, berdagang adalah pilihannya. Karena itu, menulis lebih kepada bekerja untuk merangkai keabadian.
Contoh nyata adalah apa yang telah dilakukan oleh para sarjana dan ulama kita. Sebagai contoh al-Ghazali yang menulis sejak abad ke-11 M. Namun hingga kini kitab-kitabnya masih terus dikaji. Kalimat-kalimat yang ditulis dan diutarakannya masih terus diperbincangkan umat dan kemanusiaan dari zaman ke zaman. Pernah kah kita membayangkan bahwa nama kita masih akan dikenang dan dielu-elukan oleh orang-orang yang datang 100 tahun setelah kita? Ini al-Ghazali bahkan hampir 10 abad setelahnya nama dan jasasnya masih terus harum di benak dan fikiran umat Islam dan kemanusiaan. Karena itu, sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Meski demikian, sekali lagi juga saya tandaskan, bahwa kenyataannya tidak semua orang lantas bisa dipaksakan untuk menulis. Ada sebagian yang memang bisa menulis hanya dengan latihan sedikit saja. Kepada mereka yang berada dalam golongan ini, saya ingin mengatakan di situlah sebenarnya peran yang sedang Tuhan inginkan dalam diri kita.
Tapi ada juga yang berkali-kali ikut, atau lebih diikutkan, pelatihan menulis, namun tidak kunjung bisa. Kepada mereka yang berada dalam golongan ini, saya ingin mengatakan, “cobalah sekali atau dua kali lagi. Kalau masih juga tidak bisa, sebaiknya Anda mencari profesi lain yang lebih tepat bagi diri Anda.” Itulah pentingnya mengetahui di man sesungguhnya bakat kita berada. Dengan begitu, kita setidaknya tahu ‘bocoran’ dalam peran apa Tuhan sesungguhnya menginginkan kita.
Meski demikian, ada juga orang yang tidak tahu dalam bidang apa sebenarnya ia berbakat. Saya belum sepenuhnya mengamati persoalan ini. Namun asumsi dasar yang ingin saya katakana adalah bahwa setiap orang dibekali dengan bakat dan kemampuan tertentu, yang sangat boleh jadi berbeda dengan orang lain. Bentuk ujian hidup boleh berbeda. Namun bobotnya antar orang tetap sama. Maka, pada titik ini, perlu diidentifikasi; apakah orang tersebut sudah benar-benar berusaha untuk meneliti dalam bidang apa sebenarnya ia berbakat atau tidak?
Terakhir, saya ingin mengatakan yang paling penting adalah menjadi manusia bermanfaat. Dalam segala peran yang kita punya. Namun, jika kita ingin manfaat tersebut lebih abadi, baik di dunia maupun di akhirat, maka; menulislah! Wallahu A’lam.