Palestina Oh Palestina

0
137

Setiap mendengar kata “Palestina” gambaran pertama yang muncul di benakku adalah perang. Pertama kali aku mengenal kata “Palestina” ini ketika aku masih kelas empat SD tahun 1969. Bukan kudengar melainkan kubaca dari selebaran yang banyak menempel di tembok pabrik tahu dekat rumahku di Palmerah, Jakarta. “Usir! Usir, Yahudi Dari Palestina!”, begitu yang tertulis. Tentu saat itu belum ada media secanggih sekarang selain surat kabar, radio dan TV hitam putih. Jadi, aku tidak paham, ada apa? Di mana itu Palestina? Apa itu Yahudi? Mengapa diusir?

Seiring berjalannya waktu, aku semakin paham bahwa ada konflik tak berkesudahan antara dua negara ini, Palestina-Israel. Dan puncaknya, menjelang akhir tahun 2023 ini. Setelah dunia mendapat dampak perang Rusia-Ukraina dengan berbagai permasalahanya, bertambah lagi dengan adanya konflik mutakhir kedua negara yang berada di kawasan Asia Barat. Perang Rusia-Ukraina berbeda dengan Palestina-Israel. Namun, keduanya menimbulkan dampak yang luar biasa bagi  ekonomi, politik, perdamaian dunia, dan khususnya kemanusiaan. Apapun motif konflik peperangan, tetap yang hancur dan musnah manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Aku nyaris tidak berani menyaksikan berbagai tayangan video tentang perang Palestina-Israel ini. Perang yang selalu tak pernah seimbang. Kalaupun seimbang, sekali lagi, perang tetaplah perang. Aku hanya menyempatkan diri -dengan sengaja- menonton beberapa podcast dari sumber yang menarasikan kebrutalan perang di mana anak-anak, orang tua, perempuan dan siapapun yang tidak berdosa menjadi korbannya. Sungguh menyedihkan, memilukan dan menakutkan. Apakah tidak ada cara lain selain perang? Diplomasi, misalnya? Di sinilah letak egoisme manusia! Ada rasa superior di atas manusia lain. Menganggap diri paling pantas, terhormat dan berhak tinggal di atas bumi ini, sedangkan yang lain ikut titah mereka.

Ketika berada di Rumah Bersalin dan menyaksikan bocah-bocah merah yang lemah tak berdaya dan sangat bergantung kepada orang lain, aku selalu membatin; “Wahai para bocah… Engkau sangat lemah dan tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Namun, mengapa ketika kalian sudah dewasa dan kuat, lalu membunuh yang lain? Padahal, ketika kalian masih merah, kalian sama semua. Sama-sama manusia. Anak siapapun kalian, dari suku bangsa apapun kalian, warna kulit apapun kalian, suara tangis bayi kalian semua serupa. Mengapa sampai terjadi demikian?”

Kekejaman yang dilakukan Israel terhadap penduduk Palestina sudah di luar batas kemanusiaan. Padahal, mereka yang tinggal di wilayah Palestina, tidak saja kaum mayoritas muslim, namun juga Kristen, Yahudi dan agama lainnya. Namun, Israel tidak mengenal kata “agama”, asalkan mereka berada di wilayah Palestina, mereka siap-siap menjadi korban. Dunia yang berempati telah mengutuk Israel dengan berbagai cara yang bisa mereka lakukan. Mulai dari demonstrasi masal di berbagai belahan bumi, boikot produk Israel (baca: Yahudi), mengirim bantuan kemanusian hingga doa yang tak pernah putus. Tetapi, Israel makin angkuh dan “terlindung” oleh “tuannya” yang kedap mata dan suara. Badan dunia, seperti PBB sekalipun tak nampak keberpihakannya secara konkrit kepada orang-orang teraniaya dan terzolimi di Palestina dengan menindak tegas kebiadaban Israel. Bukan saja rakyat Palestina yang tertindas berpuluh tahun, bahkan tanah dan wilayahnya pun semakin menyempit diduduki Israel sang pendatang. Entah sudah berapa kali akta perjanjian perdamaian ditanda tangani dan sebanyak itu pula pelanggaran terjadi. Sungguh malang nasib bangsa Palestina yang belum juga memiliki kedaulatan dan pengakuan sebagai negara merdeka sebagaimana Palestina memberikan pengakuannya ketika Republik Indonesia berdiri.

Setiap orang tua, perempuan, anak-anak yang berada di tanah Palestina, mereka sulit bermimpi indah seperti saudaranya di Indonesia yang damai ini. Umur mereka seperti sudah “ditakar”. Namun satu hal yang pasti, kematian bukan suatu hal yang paling mereka takutkan. Mereka takut apabila negeri mereka hilang ditelan Israel. Itluah mengapa mereka rela berdarah-darah dan mengorbakan nyawa demi tanah Palestina.

Menyaksikan bocah-bocah Palestina yang menuliskan nama mereka di lengan masing-masing dengan wajah ceria antar sesamanya, sungguh ini sebuah pemandangan luar biasa. Mereka sudah memastikan bahwa jika terjadi apa-apa dengan peperangan ini, mereka telah mendata diri. Siap dikuburkan dengan nama yang tertera di lengan masing-masing. Boleh jadi kalau itu terjadi pada anak-anak kita, entah air mata darah dengan jerit pilu apa yang terdengar. Anak-anak Palestina siap bertempur dengan kekuatan kecil mereka yang jauh tidak sebanding dengan tank-tank mutakhir milik Israel yang menghadang. Ah, inikah militansi itu?

Di sebuah sudut Jakarta, sebuah keluarga Palestina yang dalam proses mencari suaka ke negeri tujuan di luar Indonesia, sedang terlibat dalam komunikasi digital dengan orang tuanya di Gaza. Kala itu konflik baru berkecamuk. Mereka saling menyemangati dan mendoakan dari jauh dengan harapan dan kepasrahan. Keluarga muda ini sedang memperjuangkan masa depannya, entah negeri mana yang akan bersedia menampungnya menjadi bagian dari penduduk negeri baru. Akan lahir generasi baru dari kaum pengungsian yang mencari suaka dan kepastian hidup yang layak dengan perlindungan. Akankah  terjadi sejarah baru bangsa Palestina yang (akan) terserak di muka bumi ini?

Aku bukan siapa-siapa dan hanya merasa wajib empati dan peduli atas dasar kemanusiaan. Perang dan konflik Palestina-Israel sudah saatnya diakhiri dan mereka duduk bersama mengembalikan hak dan kewajiban sesuai dengan kesepakatan bersama. Genjatan senjata saja tidak cukup. Lembaga internasional, negara-negara Arab dan pemilik hak veto harus menjadi penengah dan membantu menemukan solusi demi kemanusiaan, khususnya bagi rakyat Palestina. Tapi, apakah harapan ini sebuah utopia? Wallahua’lam.

Mari kita peduli dan ikut membantu rakyat Palestina sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kita orang Indonesia, tidak saling menambah api konflik dengan nafsu egoisme sektarian yang mengakibatkan konflik melebar, bukan dengan mereka tapi dengan sesama anak bangsa sendiri.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here