Ramadan adalah momen spesial. Karena, hanya pada bulan Ramadan kita dapat memburu malam kemuliaan yaitu Lailatul Qadar. Allah Ta’ala merahasiakan jadwal kedatangannya boleh jadi agar kita bersungguh-sungguh meraihnya. Semoga kisah berikut ini dapat membantu kita untuk bersungguh-sungguh meraih “Lailatul Qadar”.
Ramadan adalah momen spesial tidak hanya untuk menempa diri menjadi pribadi dengan predikat takwa sebagai bekal ke kampung akhirat. Tetapi juga merupakan momen spesial untuk bertemu dengan ‘Lailatur Qadar’. Kalaupun tidak bisa bertemu dengan Lailatul Qadar maka setidaknya bisa merasakan nuansa ‘Lailatul Qadar’.
Adalah An. Seorang perempuan yang berusaha istiqamah menjalankan amalan sunah seperti salat sunah Tahajud dan Dhuha, tilawah, puasa Senin Kamis, bersedekah setidaknya setiap Jumat, dan dzikrullah. Tentu saja selain istiqamah mengerjakan ibadah wajib. Setelah kehilangan buah hatinya karena kecelakaan, An merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Terkadang An merasa kakinya menginjak bumi, tetapi jiwanya melayang ke langit.
Pada Ramadan pasca kematian anaknya, An tidak ingin kehilangan sebuah momen istimewa pada sepuluh terakhir bulan Ramadan. Oleh karena itu setelah suami dan anak-anaknya pergi, An pergi ke belakang. Dari balik pintu dapur, An mengintai langit.
Demi meraih Lailatul Qadar, An rela begadang sejak sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.
Ego An berontak terhadap kebiasaan barunya itu. Didorong oleh rasa penasaran, Ego An bertanya kepada lubuk hati An,”Mengapa kau sering mengintai langit, An ?”
An masih memakai mukenahnya. Ketika menguak pintu belakang, lubuk hati An menjawab pertanyaan egonya , “Siapa tahu aku dapat meraih Lailatur Qadar.”
“Lailatur Qadar? Malam seribu bulan?” Ego bertanya penasaran.
“Iya. Malam ketika dosa-dosa diampuni Nya. Doa-doa dikabulkan-Nya.”
Serta merta Ego An menyahut, “Mimpi kamu! Ahli ibadah saja sulit mendapatkan Lailatul Qadar, apalagi kamu yang masih terbata- bata membaca Alquran.
Sejenak An terdiam. An mematung menatap langit. Tetapi, An tak membiarkan waktunya berlalu begitu saja. An berusaha melewati malamnya dengan mengucapkan bacaan tasbih, tahlil , tahmid, sholawat, istighfar dan doa untuk menyambut kedatangan lailatul qadar, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah RA
“Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?
Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam menjawab, ” Ucapkanlah,
اللهم انك عفو تحب العفو فاعف عنى
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbull ‘afwa fa’fu anni”
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah, maafkanlah aku”
(HR At-Turmudzi no. 3513 dan Ibnu Majah no.3850)
Setelah langit tidak menunjukkan tanda-tanda kehadiran Lailatul Qadar, An memasuki kamarnya. An menuju tempatnya salat. Lalu An duduk di atas sajadahnya dalam waktu yang lama. An ingin menghidupkan malam Lailatul Qadar seperti kebiasaan para ulama dahulu. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa makna “menghidupkan malam lailatul qadar” adalah begadang pada malam tersebut dengan melakukan ketaatan. Sedangkan menurut An-Nawawi makna “menghidupkan lailatul qadar” adalah menghabiskan waktu malam tersebut dengan begadang untuk melaksanakan salat dan amal ibadah lainnya.
Usai salat witir, An membaca Al-Qur’an. Meskipun masih terbata-bata An bertekad mengkhatamkan Al Qur’an pada bulan Ramadan tahun itu.
Pada malam kelima pada sepuluh terakhir bulan Ramadan. Sebelum melanjutkan salat Tahajudnya, An menyempatkan diri mengintai langit.
Tiba-tiba Ego bertanya kepada Lubuk hati An . “Apakah kamu sudah mendapatkan Laitul Qadar, An?” Ego dengan nada mencibir.
Lubuk hati An tersentak dan menjawab singkat, “Belum!” Lalu An kembali mengintai langit.
“Intai terus itu langitnya! Biar kakimu sampai bengkak. Kamu takkan mendapatkan Lailatul Qadar.” Ego An mencibir.
Lubuk Hati
An tak menggubrisnya. An tetap berusaha mengejar Laitul Qadar.
Malam ketujuh. Ketika mengintai Langit, An belum melihat tanda-tanda Lailatul Qadar. Meskipun demikian An tidak mau berputus asa dari rahmat Nya. An tetap memohon kepada-Nya agar diberi kesempatan mendapatkan Lailatul Qadar.
“Sudahlah, An. Tidur saja! Kamu tidak bakal mendapatkan Lailatul Qadar!” Ego An berkata ketus.
Akhirnya sampailah pada malam ganjil terakhir bulan Ramadhan. Di tempat salatnya, An mulai gelisah.
“Jangan- jangan pada malam ini pun aku tak mendapatkan Laitul Qadar.” An berkata dalam hati sambil meremas- remas mukenahnya. Tetapi, An segera menepis kekhawatirannya. “Bukankah Allah itu mengikuti persangkaan hamba- Nya? Ya, An harus yakin, betul- betul yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa An” Lubuk Hati membisiki An.
Beberapa detik berlalu. An bangkit dari tempatnya salat. Tiba-tiba An merasakan keanehan. Jam dinding yang menempel di dinding ruang keluarga berhenti berdetak. Binatang jangkrik di sekitar rumahnya yang biasanya bersuara nyaring, mendadak berhenti mengerik.
Udara malam yang dingin mendadak berubah hangat. Serta merta An merasa tubuhnya hangat meskipun An tidak mengenakan “sweater”
Suasana hening beberapa saat lamanya. Lalu An bergegas menuju halaman rumah belakang. Setelah membuka matanya lebar-lebar, mulut An ternganga lantaran menyaksikan pemandangan langit yang begitu menakjubkan. Tidak seperti biasanya. Langit tampak terang benderang.
‘Masya Allah!” An berseru di dalam hati. “Inikah Lailatul Qadar, wahai Rabb-ku? Kalau memang benar Lailatul Qadar maka berilah hamba tanda bukti dengan mengabulkan doa- doaku ini…”
Beberapa tahun kemudian doa-doa An dikabulkan-Nya yaitu memiliki dua anak: laki-laki dan perempuan penghafal Alquran dan rumah yang lebih bagus dari rumah kontrakannya. Padahal An tergolong orang yang tidak mampu memasukkan anak-anaknya ke pondok tahfidz apalagi membeli rumah permanen dengan kebun hortikultura. Karena, penghasilannya per bulan ketika itu jauh di bawah UMR Upah Minimun Rata-rata bawah kotanya.
Bondowoso, 30/04/2024.