Stop Ghibah!

0
2776

Oleh : Didi Junaedi

أتدرون ما الغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم. قال: ذكرك أخاك بما يكره. قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته

“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahuinya.” Nabi berkata: “Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.” Ada yang bertanya: “Bagaimana pendapat anda jika padanya ada apa saya bicarakan?” Beliau menjawab: “Jika ada padanya apa yang engkau bicarakan maka engkau telah mengghibahnya, dan jika tidak ada padanya apa yang engkau bicarakan maka engkau berbuat buhtan (dusta) terhadapnya.” [HR Muslim]

Hadis di atas menjelaskan tentang definisi ghibah. Ghibah adalah membicarakan keburukan (aib) orang lain tidak secara langsung di hadapannya. Meskipun memang benar adanya apa yang kita katakan tentang orang tersebut, itulah ghibah. Jika apa yang kita katakan tentang orang tersebut tidak benar, itulah buhtan (dusta), bahkan bisa jadi fitnah.

Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering jumpai orang-orang yang begitu asyiknya menggunjing, membicarakan keburukan (aib), serta menebarkan gosip orang lain tanpa ada perasaan berdosa sedikit pun. Bahkan, semakin ditanggapi oleh lawan bicara, gunjingan dan gosip itu pun semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang saya maksud, yang gemar menggunjing (ghibah), menyebarkan aib orang lain bisa jadi adalah teman-teman kita, saudara-saudara kita, tetangga-tetangga kita, atau bahkan mungkin diri kita sendiri.

Ya, tidak perlu jauh-jauh menunjuk orang lain. Lihatlah ke dalam diri sendiri. Sudahkah kita menjaga ucapan kita untuk tidak menggunjing, membicarakan aib saudara kita, teman kita, tetangga kita, atasan kita, atau siapa saja yang kita kenal? Bisakah kita untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain? Sanggupkah kita untuk berkata hal-hal yang baik saja tentang seseorang? Mampukah kita untuk tidak mudah menanggapi gosip yang beredar tentang orang-orang yang dekat dengan kita?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi parameter kualitas diri kita berkaitan dengan sikap menjaga diri dari perbuatan ghibah.

Al-Qur’an membuat perumpamaan orang-orang yang melakukan ghibah layaknya pemakan bangkai saudaranya, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 12. Mengapa pelaku ghibah ditamsilkan sebagai pemaan bangkai saudaranya?

Al-Khazin dalam kitab tafsirnya Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil ketika menafsirkan ayat tersebut, mengutip pendapat Mujahid yang mengatakan bahwa perumpamaan orang-orang yang melakukan ghibah layaknya orang yang memakan bangkai sadaranya, karena ketika seseorang diceritakan aibnya oleh orang lain, tentu orang tersebut akan sakit hatinya, seperti sakitnya tubuh jika dagingnya terpotong. Sedangkan menjaga kemuliaan hati lebih utama dari sekadar menjaga kesempurnaan fisik.

Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah menyatakan, “Pada saat Mikraj aku melewati sekelompok orang yang berkuku tembaga yang digunakan untuk mencakar muka dan daging, dalam riwayat lain, dada mereka sendiri. Maka saya bertanya kepada Jibril, “Siapakah mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni ghibah). (HR. Abu Dawud)

Mari sejenak kita melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat modern saat ini. Sebagai imbas dari kebebasan berekspresi melalui media, sudah hilang rasa risih, sudah pudar rasa malu mengumbar aib di depan khalayak melalui tayangan acara-acara bertajuk infotainment.

Hemat penulis, tayangan-tayangan infotainment di sejumlah televisi swasta dengan beragam judul itu tak ubahnya sebagai tayangan acara ghibahtainment.

Betapa tidak, gosip dan isu yang disertai pertikaian sejumlah pihak, bahkan tidak jarang menyentuh ranah yang sangat sensitif, yaitu urusan pribadi dan rumah tangga seseorang diumbar begitu gamblangnya di media. Tidak ada lagi ruang privasi yang tidak disorot kamera, semua terlihat jelas, tidak ada yang ditutup-tutupi. Tabu sudah menjadi kata ‘asing’ dalam era informasi saat ini. Konsep malu sudah hilang sejak lama. Harga diri manusia tidak lagi menjadi barang mewah. Jika sudah demikian kenyataannya, lalu apa lagi yang bisa dibanggakan dari seorang manusia?

* Ruang Inspirasi, Sabtu,18 April 2020.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here