Terus Menulis Sampai Tua

0
276

Oleh: Rita Audriyanti

 

“Menulis adalah mencipta, 

dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya 

semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, 

tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan napas hidupnya”. 

 ~ Stephen King ~

            Aku percaya dengan apa yang disampaikan seorang Stephen King seperti quote yang aku kutip seperti di atas. Menulis tidak sekadar menyusun kalimat begitu saja melainkan menulis sebagai sebuah proses kreatif yang melibatkan semua kemampuan yang dimiliki sehingga menghasilkan karya yang sempurna. Sempurna dalam artian karya yang sungguh-sungguh dengan segenap luapan dan ungkapan isi kepala, rasa, hati dan kemampuan menyaring sehingga tercipta tanggung jawab dalam mengekspresikannya. Begitulah sebuah tulisan dilahirkan.

            Menjadi penulis dengan definisi seperti seorang profesional, sangatlah banyak kaidah yang mengikatnya. Aku tidak dalam rangka melibatkan diri dalam aturan ketat yang terasa akan membelenggu diriku sendiri dalam mengeluarkan ide dan mengembangkannya hingga mudah dipahami pembaca. Menulis adalah sebuah alasan subyektif sehingga hanya dirinyalah sesungguhnya yang paling mengetahui apa yang ingin disampaikannya. Penulis yang baik adalah mereka yang mampu melibatkan pembaca berpikiran yang sama dengan sang penulis tentang apa yang disampaikannya. Oleh karena itu, sebuah proses kreatif dalam menulis, memerlukan kemampuan yang terukur dan terarah dengan menggunakan bahasa dan ungkapan logis sehingga  pesan yang ingin dituju sampai ke pikiran pembaca sama seperti maksud sang penulis. Atau, mungkin lebih jauh lagi, tulisan seorang penulis tersebut bahkan mampu melebihi pesan yang dimaksud sehingga menjadi batu loncatan bagi timbulnya ide-ide baru yang lebih baik lagi. Di sinilah, menurutku,  peran penulis yang canggih dalam menulis.

            Menjadi penulis, tidak terbatas menjadi milik satu gender tertentu saja. Menulis menjadi hak dasar semua orang. Masalahnya, orang tersebut berminat atau mau mengasah diri menjadi penulis atau tidak, sebab, menulis memerlukan konsistensi dan keberlangsungan yang terus menerus. Menulis seperti itu ibarat makan minum dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

            Bagi aku sendiri, hingga usiaku telah memasuki usia lanjut usia (lansia) ini, akhirnya aku memutuskan akan mengisi masa tuaku dengan konsisten terus menulis. Aku sudah menemukan kenikmatan menulis. Rasanya, hidup tanpa menulis seperti ada yang kurang atau tertinggal. Apalagi tanpa diimbangi dengan membaca, baik membaca buku genre tertentu, tulisan lepas, berbagai jenis tulisan fiksi dan nonfiksi, maupun tulisan-tulisan di media sosial lainnya. Tanpa itu semua,  kemampuan menulis ku akan berkurang. Motivasiku akan melemah, yang tersisa hanya rasa bersalah dan penyesalan. Semua yang kusebutkan itu menjadi sumber belajar utamaku, termasuk belajar dari berbagai pengalaman hidup sendiri maupun orang lain. Ah, begitu berlimpahnya sumber ide yang bisa diolah menjadi tulisan singkat maupun panjang.

            Setiap hari bagiku, ibarat lembaran kertas kosong yang siap ditulisi apa saja. Mulai dari bangun tidur hingga mata terpejam di waktu malam, semua waktu itu mengandung ide yang bisa diolah ke dalam berbagai bentuk tulisan. Ada tulisan ilmiah maupun tulisan populer. Silakan setiap penulis menemukan idenya hendak dibawa kemana tulisannya. Seorang Stephen King sudah menyatakan bahwa menulis itu melibatkan diri secara utuh jiwa dan raga. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin menulis tanpa mengintegrasikan jiwa, raga, pemikiran dan konsentrasi pada ide yang akan dijabarkan dalam bentuk tulisan.

            Seorang penulis adalah seorang yang terlatih untuk fokus dan lurus dalam mengembangkan ide berupa tulisan. Sangatlah mustahil apabila perbuatan menulis dilakukan tanpa kemampuan konsentrasi dan serius memanfaatkan waktu tertentu. 

            Sebagai seorang perempuan yang telah berada pada fase usia pensiun, ketertarikanku pada dunia literasi ini bermula dari sebuah keisengan dalam menerjemahkan sebuah buku. Saat itu, pada usia 43 tahun, aku sudah tidak lagi berkarier menjadi staf pengajar di salah satu kampus di Jakarta. Kepindahan suami bertugas ke luar negeri telah mengubah segalanya. Aku harus memulai lagi kebiasaan baru dengan status sebagai ibu rumah tangga penuh waktu. Dan suasana pergantian karier ini kunikmati sekadar saja. Jiwaku tetap haus akan perkembangan dalam mengekspresikan diri melalui karya tulis. Lahirlah sebuah buku pertamaku hasil dari buku terjemahan bahasa Inggris yang kualihbahasan ke dalam bahasa Indonesia, Mengenal Etika dan Akhlak Islam, Lentera, 2003. Kegiatan selanjutnya, aku lebih banyak menulis lepas di berbagai media seperti di majalah, blog, dan media sosial lainnya.

            Setelah sepuluh tahun kemudian, aku mulai serius menulis buku. Perlahan namun pasti, aku mulai mengikuti kelas-kelas kepenulisan dan bergabung dengan komunitas literasi secara online. Hasilnya tidak sia-sia. Dimulai dengan karya bersama (antologi), pelan-pelan timbul dorongan untuk menulis buku solo. Menulis buku antologi, selain mendapatkan hasil karya yang cepat karena dikerjakan bergotong royong, kita juga bisa belajar dengan teman sesama penulis lainnya tentang ide, gagasan, gaya bahasa, maupun teknik penulisan lainnya. Ini menjadi modal dan penambah daya dorong untuk berani menulis dalam jumlah yang lebih banyak. 

            Kini aku dan keluarga sudah kembali ke Tanah air, kembali “memulai” hidup baru sebagai “orang baru” lagi di negeri sendiri. Hal ini membutuhkan adaptasi dengan situasi dan lingkungan yang telah berubah. Sebagian kawan dan Tetangga sudah tiada, yang dulu anak-anak sekarang sudah dewasa dan tentu saja aku pun semakin menua. Kesadaran sebagai Lansia muncul tatkala circle semakin mengecil dan terbatas dengan orang-orang yang terseleksi Karena kesamaan rasa dan ikatan moral. Selebihnya, yang lain menjadi sebuah lingkaran besar tempat bergaul, berinteraksi dan menjadi pertemanan. Ini artinya, Lansia punya waktu banyak untuk melakukan apapun, termasuk menulis. Di sinilah aku semakin menemukan diriku bahwa aku ‘masih ada’ Karena aku menulis.  Beruntung aku berada pada lingkungan keluarga yang suportif dan saling menghormati kegiatan pribadi masing-masing. Hal ini sangat penting sebagai wujud pengakuan akan pengembangan eksistensi diri anggota keluarga. 

            Meskipun aku bukan penulis terkenal apalagi viral, aku tidak mengutamakan hal tersebut.  Kalaulah itu dapat, aku akan anggap sebagai bonus Literasi. Bagiku, aku akan terus konsisten menulis sampai kemampuan koordinasi pikiran, perasaan dan motorik ku sudah tidak sinkron lagi sehingga pembaca ‘bingung’ dengan apa yang kutulis. Menulis merupakan aktivitas intelektual  dalam bentuk tulisan apapun. Karya tulis menjadi saksi sejarah keberpihakan kita pada peradaban yang mengandung pesan kemajuan. Boleh jadi, karya tersebut tidak mengubah sesuatu secara besar-besaran namun aku yakin karya tulis tersebut menjadi legacy dan warisan Anak cucu dan pembaca yang menyukai tulisanku. Biarlah sesederhana itu.

            Alhamdulillah, sejak serius menulis ketika usia 53 tahun hingga aku berusia 65 tahun, setidaknya aku telah menghasilkan sebanyak 120 buku. Rasanya, semakin banyak saja sarana dan prasarana sosial yang mendukung hobi menulis ini untuk diterbitkan. Lantas, nikmat  mana lagi yang harus kudustai?

            Keep writing till the last call!

***

 

Bionarasi

Rita Audriyanti. Ibu rumah tangga, 65 tahun,  pemelajar yang senang mencoba hal-hal baru.  Usia 53 ia mulai serius menekuni dunia tulis menulis. Sampai saat ini, ia telah menghasilkan 11 buku solo dan 110 antologi dari berbagai genre yang diterbitkan di penerbit mayor maupun indie serta di beberapa media. Ia berharap dapat menghabiskan masa menua dengan terus menulis. Ia dapat dilihat di IG @literatus.rita dan Facebook Rita Audriyanti.

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here