Ustadz Mulyono Jamal dan Fi’il Mudhari’
Oleh: Muhammad Abdul Aziz
Petang itu, selepas shalat Maghrib, beratapkan kubah masjid ISID (Institut Studi Islam Darussalam) Gontor yang megah itu, kalau tidak Senin Insya Allah Kamis, sembari membuka lebar-lebar mata intelektualku, Ustadz Mulyono menyampaikan sebuah pesan yang pendek tapi tetap berkesan hingga sekarang.
“Mengapa akhir ayat puasa ya ayyuha al-ladzina aamanu kutiba ‘alaikum al-shiyam (al-baqarah 183) berbentuk fi’il mudhari (la’allakum tattaqun), bukan madzi atau amr?” tutur otakku mengingat sekilas penjelasan beliau.
“Iya ya, kenapa ya?” gumamku dalam hati.
Itu karena Allah Swt, lanjut Ustadz Mulyono, tahu bahwa tingkat ketaqwaan seseorang akan berubah-ubah dari masa ke masa. “Fluktuatif” kata ekonom; “Tidak stabil” kata para jendral; “Yazid wa yanqush” kata para da’i. Ketaqwaan tersebut akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya ketaatan seseorang terhadap-Nya. Jika ia mampu merawat ketaatan tersebut, ia akan melebihi derajat malaikat. Namun, karena manusia bukan malaikat, kadang kala ia terjerumus dalam lembah kedurhakaan (ma’shiyat). Pada kondisi inilah, semakin ia berbuat maksiat, semakin berkurang imannya, dan bukan tidak mungkin ia akan berada dalam jurang terdalam; lebih rendah dari pada binatang. Naudzu billah.
Lalu apa hubungannya dengan fi’il mudhari’?
Fi’il mudhari adalah jenis kata kerja yang membicarakan hal sekarang dan akan datang. Karena menunjuk sesuatu yang belum terjadi itulah, ia sering kali merujuk pada hal-hal yang bersifat fluktuatif, dan – mungkin – belum pasti, dan atau tidak mesti sekarang terjadinya. Sebagaimana ketaqwaan (baca: keimanan) seseorang; fluktuatif, tidak stabil, yazidu bi al-tha’ah wa yanqushu bi al-ma’shiyah.
Hal ini bisa ditegaskan dengan beberapa ayat lain semisal afala yatadabbaruna al-Qur’an (al-Nisa 82), la’allakum ta’qilun (al-Nur 61), li qaum yu’minun (al-Rum 37), la azidannakum (Ibrahim 7). Sehingga, kemampuan untuk merenungi segala ayat al-qur’an, memikirkannya, bahkan juga beriman kepada-nya juga cenderung berubah-ubah, sesuai dengan presentase ketaqwaannya. Penggunaan fi’il mudhari pada la azidannakum di atas pun juga menunjukkan bahwa Allah Swt tidak menjamin pengabulan doa seorang hamba selepas hamba tersebut berdoa. menjadi kehendak-nya untuk mengabulkan pada hari ini, esok, atau bahkan tahun depan. Berbeda halnya dengan fi’il madzi yang lebih menunjukkan hal-hal yang pasti, absolut, jelas, tidak diragukan keberadaannya. (Tentang fi’il madzi Insya Allah disampaikan di lain waktu).
Dalam bentangan ratusan kilometer, saya merindukan beliau. Rindu akan sekian letupan pemikiran beliau yang kritis. Letupan yang sering kali menyadarkan kita akan sesuatu yang selama ini kita pahami biasa dan itu-itu saja. Letupan yang menggelitik, membangunkan kita dari tidur pulas, menajamkan kembali pikiran yang hendak tumpul. Terima kasih Ustadz Mulyono Jamal. Jazakumullah ahsan al-jaza’. Wallahu A’lam.