Oleh Agus Hariono
Anak adalah anugerah yang sangat berharga dalam kehidupan kita. Mereka adalah warisan yang akan kita tinggalkan di dunia ini. Banyak orang yang meyakini bahwa mendidik anak dengan baik adalah sebuah investasi untuk masa depan mereka, termasuk investasi dalam konteks kehidupan akhirat.
Terjadi pro dan kontra terhadap boleh dan tidaknya menjadikan anak sebagai investasi orang tua. Banyak orang tua yang takut dan khawatir ketika berharap atau memiliki keinginan terhadap anaknya. Karena dapat berpengaruh pada tumbuh-kembang anaknya. Mereka khawatir apabila ekspektasi akan menjadi beban dan tekanan bagi anak. Anak menjadi terpaksa dengan apa yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya.
Misalnya, tentang pendidikan. Biasanya orang tua memasang target kepada anaknya agar dapat memperoleh peringkat satu, dua atau tiga. Atau mungkin terkait dengan target materi keagamaan. Anak ditarget harus hafal Alquran sekian juz. Atau anak harus aktif dalam mendakwahkan Islam. Dan lain sebagainya.
Nah, ketentuan, ketetapan, harapan, ekspektasi orang tua yang disematkan kepada anak, sedikit banyak akan menjadi beban, tekanan bahkan paksaan. Hasilnya anak akan kehilangan kehidupannya sendiri. Dia tidak dapat memetakan dan merancang kehidupannya sendiri. Kenapa? Karena telah dipaksa oleh harapan-harapan orang tua.
Ada juga yang lebih ekstrim, bahwa anak adalah investasi masa depan. Karena menurut orang tua kehidupan sekarang sulit. Mencari nafkah untuk menyambung hidup susah. Nah, orang tua demikian ini menganggap anak adalah investasi masan depan. Mereka khawatir dengan kondisi di masa mendatang. Ketika mereka sudah mulai renta. Tidak dapat lagi mencari nafkah. Fisiknya sudah lemah. Sudah tidak mampu lagi mengurusi dirinya sendiri.
Orang tua jenis ini, satu-satunya harapan adalah anak. Ia menetapkan bahwa bila nanti sudah tua renta, anaklah yang akan merawatkan. Karena ia sudah meniatkan bahwa anak adalah masa depan yang diandalkan. Sehingga mau tidak mau anak akan terbebani harus membalas apa telah dilakukan oleh orang tua kepadanya. Hubungan antara anak dan orang tua semacam transaksional.
Dalam kondisi ini kehidupan anak menjadi terpaksa. Kalaupun nanti dia harus harus merawat orang tua itu semata karena balas budi. Hubungannya hanya sebatas materi. Itupun kalau orang tua mengurus dan merawat anaknya dengan baik, kalau tidak, bisa jadi tidak akan mau mengurusi orang tuanya.
Melihat fenomena ini. bagaimana Islam memandang? Apakah betul orang tua tidak boleh berharap pada anak atau malah sebaliknya orang tua harus memiliki harapan yang baik dan besar kepada anaknya?
Jika contoh di atas cenderung melarang orang tua mempunyai harapan kepada anak, tetapi Islam sebaliknya, orang tua harus mempunyai harapan besar kepada anaknya. Karena ini sejalan dengan hadis Nabi Saw yang artinya, “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh dan salihah yang berdoa baginya.”
Jadi sangat jelas bahwa dalam Islam orang tua harus mempunyai harapan yang baik terhadap anaknya. Meyakini bahwa anak yang shalih inilah yang akan memberikan aliran pahala kepada orang tua melalui doa-doanya. Sehingga orang tua akan terselamatkan di kehidupan setelah dunia. Orang tua akan mendapatkan pahala tiada henti. Dari sini ada beda dibanding contoh di atas yang orientasinya hanya materi.
Kalua memang orientasinya hanya materi dan kekhawatiran hidup susah di masa tua sehingga perlu jaminan, maka hal ini cukup diatasi dengan asuransi. Atau bisa saja semasa masih sehat menabung sebanyak-banyaknya untuk biaya masa tua. Kalau seperti ini tidak punya anak pun tidak jadi soal. Sehingga yang memiliki pandangan tidak punya anak tidak masalah asal mempunyai tabungan yang besar demi menjami kehidupan di masa tua.
Islam itu punya cara pandang yang unik. Punya cara yang luar biasa mengukur sesuatu baik buruk itu bukan hanya sebatas materi dan bukan hanya sebatas di dunia, maka yang namanya kebaikan itu sampai akhir. Pahala yang mengalir sampai nanti kejannahnya. Itulah bedanya Islam. Makanya kenapa dikatakan anak yang baik itu, yang Allah doanya akan tembus ke langit. Doanya akan melepaskan azab, melepaskan siksa bagi kedua orang tuanya dan doa itu yang akan mengalirkan keberkahan.
Inilah Islam. Bahkan Rasulullah SAW mengajarkan orang tua semenjak pemberian nama kepada anak. Maka nama itu adalah doa. Kita dilarang memberikan nama yang jelek. Nama yang maknanya sia-sia. Tetapi dianjurkan untuk memberikan nama yang baik. Karena di balik nama itu ada harapan orang tua dan tentu yang namanya harapan ini bukan beban bagi seorang anak. Tetapi justru akan menjadi pendorong, menjadi motivasi, sehingga si anak merasa bertanggung jawab dengan nama yang baik itu. Dia akan berupaya untuk merealisasikan doa orang tuanya.
Kita melihat bahwa di sini ada peran dari orang tua tentang bagaimana mengomunikasikan harapan itu kepada anak. Kalau contoh di atas dianggap tekanan, dianggap paksaan, dianggap merampas kehidupan anak, itu bisa saja terjadi ketika orang tua itu kurang menyosialisasikan. Atau bahkan tidak terjadi komunikasi harmonis antara orang tua dengan anak. Islam mengajarkan sesuatu yang dapat berkontribusi kepada kehidupan di dunia dan di akhirat.
Orang tua punya peran dan tanggung jawab untuk menanamkan paradigma kehidupan kepada anaknya, bahwa ketika anak birrul walidain itu bukan semata balas budi, tetapi memang dorongan keimanan. Karena Allah sudah mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Jadi ketika nanti orang tuanya sudah tua renta, bahkan mungkin tidak sampai menunggu tua renta. Orang tuanya masih muda pun dia akan birrul walidain. Dorongannya bukan balas budi, tapi karena Allah sudah menyuruh.
Sebagaimana dalam sebuah hadis yang artinya, Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah amal perbuatan yang paling utama?” Rasulullah SAW menjawab, “Melaksanakan shalat pada waktunya.” Kemudian aku bertanya, “Lalu apa lagi?” Rasulullah SAW menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Rasulullah SAW menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Ia berkata, “Demikianlah Rasulullah SAW menyebutkannya kepadaku, andai aku menambah pertanyaan, niscaya Rasulullah SAW menambahkannya.”
Di dalam Islam seorang anak yang memiliki keimanan yang kuat, memiliki pengetahuan tentang hukum Islam, dia akan memahami bahwa birrul walidain itu bukan semata balas budi, tapi itu adalah amal terbaik sebagaimana sabda Rasulullah, setelah shalat pada waktunya, di samping al jihad fisabilillah di jalan Allah. Itulah amal yang luar biasa. Seorang anak yang memiliki pemahaman demikian, maka dia tidak akan merasa dipaksa untuk melakukan birrul walidain. Dia tidak akan merasa tertekan dengan harapan-harapan baik dari orang tuanya, tapi dia akan merasa bahagia punya orang tua yang tahu tentang pemahaman Islam.
Mempunya orang tua yang akan mengarahkan dia. Mendidik dia untuk menjadi anak sholeh dan sholehah. Itu bukan semata untuk kebaikan orang tua. Seperti yang sekarang banyak berkembang mengatakan bahwa, “Enak saja orang tua berharap kebaikan dari anaknya, tapi justru birrul walidain itu adalah penting dibutuhkan oleh seorang anak. Dengan birrul walidain itu, maka dia akan selamat dunia akhirat. Dia akan memiliki investasi bagi dirinya sendiri. Karena dia akan mendapatkan pahala dari keutamaan amal.
Ini kalau ini dipahami oleh anak, maka itu tidak akan terjadi. Tuduhan-tuduhan ketika orang tua punya harapan baik pada anak, berarti ini sudah merampas kehidupan anak, ini sudah memaksa anak. Karena itu, maka yang diperlukan oleh kita adalah bagaimana mengokohkan keimanan anak? Sehingga anak memahami bahwa hidup ini semata untuk ibadah kepada Allah. Yang namanya ibadah itu termasuk birrul walidain. Kemudian yang kedua, bahwa hidup ini terikat dengan hukum Allah. Dengan hukum syara’, bukan terikat oleh keuntungan materi.
Jadi kita melakukan sesuatu itu bukan karena balas budi, bukan karena kita diperlakukan baik, tetapi karena Allah yang menyuruh birrul walidain. Karena itu adalah perintah Allah. Kemudian berikutnya juga orang tua punya kewajiban bagaimana dia mendidik anaknya. Itu juga karena Allah menjalin komunikasi yang harmonis dengan anak, sehingga nanti pendidikan anak birrul walidain itu dilakukan secara bersama-sama. Dorongan karena Allah baik orang tua maupun anak karena apa keduanya anak maupun orang tua punya harapan untuk sama-sama masuk surga secara bersama-sama.
Terakhir, semoga kita termasuk orang tua yang punya harapan baik bagi anak-anak dan kita termasuk anak yang shaleh dan shalehah bagi kedua orang tua kita, sehingga bisa mengalirkan pahala tiada henti. Amin ya rabbal alamin.
Plemahan, 30 Juni 2023