BELAJAR DARI ABDURRAHMAN BASWEDAN

0
498

 

Muhammad Chirzin

  1. Abdurrahman Baswedan populer dengan nama A.R. Baswedan (9 September 1908–16 Maret 1986). Dia dikenal sebagai seorang jurnalis, diplomat, pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjadi Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan KOnstituante.

A.R. Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.  Ia menguasai Bahasa Arab, Inggris, dan Belanda. Ia menyerukan kepada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia dan menganut asas kewarganegaraan: di mana saya lahir, di situ tanah airku.

Pada masa-masa revolusi, A.R. Baswedan menyiapkan gerakan pemuda peranakan Arab untuk berperang melawan Belanda. Mereka yang terpilih akan dilatih dengan semi militer di barak-barak dan dipersiapkan secara fisik untuk bertempur.  Saat era revolusi, tulisan-tulisan A.R. kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia bernada positif dan optimis.

Saat Indonesia merdeka, ia mengorbankan keselamatan dirinya membawa dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir pada 1948. Dengan menaruhnya di kaos kaki, dokumen penting dari Mesir itu bisa selamat dan Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka secara penuh, secara de jure dan de facto.

A.R. Baswedan menikah dengan Sjaichun. Pada tahun 1948 Sjaichun meninggal dunia di Surakarta. Tahun 1950 A.R. Baswedan menikah lagi dengan Barkah Ganis, seorang tokoh pergerakan perempuan, di rumah KH KHA Dahlan di Yogyakarta. Muhammad Natsir bertindak sebagai wali dan menikahkan mereka. Dia dikarunia 11 anak dan 45 cucu.

A.R. Baswedan sangat sederhana dan tidak pernah memikirkan harta material. Sampai akhir hayatnya A.R. Baswedan tidak memiliki rumah. Dia dan keluarga menempati rumah pinjaman di dalam kompleks Taman Yuwono di Yogyakarta, sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal Atmoyuwono untuk para pejuang revolusi saat Ibu kota di RI berada di Yogyakarta. Mobil yang dimilikinya adalah hadiah ulang tahun ke 72 dari sahabatnya Adam Malik, saat menjabat Wakil Presiden.

Cucunya, Anies Baswedan, Mendikbud tahun 2014 hingga 2016. Pada 15 Oktober 2017 Anies dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pada Pilpres 2024 ini Anies Baswedan menjadi Calon Presiden berpasangan dengan Abdul Muhaimin Iskandar. Cucu A.R. Baswedan lainnya adalah penyidik antirasuah yang tangguh, Novel Baswedan.

A.R. Baswedan mengajak keturunan Arab untuk bersatu, membaur dengan masyarakat lainnya dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Terinspirasi oleh Sumpah Pemuda yang digalang oleh Muh. Yamin, Soegondo, dkk pada 28 Oktober 1928 di Jakarta, para pemuda keturunan Arab pun mengucapkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang setelah mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI), kemudian menjadi Partai Arab Indonesia (PAI).

Satu, Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia (sebelum itu mereka berkeyakinan tanah airnya adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke sana).

Dua, Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri).

Tiga, Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia.

A.R. Baswedan mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya. Dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab, Salim Maskati, yang kemudian membantu A.R. Baswedan menjadi Sekjend PAI.

Saat bersekolah di Hadramaut School di Surabaya, A.R. Baswedan berkenalan dengan KH Mas Mansoer, imam dan khatib Masjid Ampel, Surabaya, pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Dari perkenalan itu A.R. Baswedan sering diminta KH Mas Mansoer untuk ikut berdakwah ke berbagai daerah. Berkat kegiatan ini, komitmen keislaman mengental dan kemampuan pidato A.R. Baswedan terasah dengan baik dan sangat membantunya saat ia berkeliling ke berbagai daerah dan menyampaikan kampanye tentang PAI.

A.R. Baswedan salah seorang dari 111 perintis pers nasional tangguh dan berdedikasi. Perjalanan AR Baswedan dalam dunia jurnalistik sebagai Redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya (1932), harian Soeara Oemoem di Surabaya yang dipimpin dr. Soetomo (1933), Harian Matahari, Semarang (1934), Penerbit dan Pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta (1950-an), Pemimpin Redaksi Majalah Hikmah, Pembantu Harian Mercusuar, Yogyakarta (1973), Penasihat Redaksi Harian Masa Kini, Yogyakarta (70-an).

Jalan politik A.R. Baswedan dimulai saat menjadi ketua Perkumpulan Arab Indonesia. PAI memperjuangkan penyatuan penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa. A.R. Baswedan mengonsolidasikan kekuatan internal sekaligus membangun komunikasi dengan pihak luar, yaitu gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moehammad Husni Thamrin.

A.R. Baswedan juga membawa PAI ke dalam lingkaran gerakan politik kebangsaan yang lebih luas dengan masuk ke dalam Majelis Islam ala Indonesia (MIAI) pada 1937. Pada masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan diangkat sebagai anggota semacam Dewan Penasihat Pusat yang dibentuk Penguasa Jepang yang diketuai oleh Ir. Soekarno.

Menjelang Indonesia merdeka, A.R. Baswedan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). A.R. bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, A.R. Baswedan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Perjuangan A.R. Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik yang dibentuk oleh negara baru merdeka ini.

Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir. Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yang diikuti oleh pengakuan negara-negara lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.

Pada 1950-an, A.R. Baswedan bergabung dalam Partai Masyumi dengan alasan karena partai tersebut sesuai dengan pandangan nasionalisme Islam yang dianutnya. Rumahnya di Tamah Yuwono menjadi tempat berteduh bagi mahasiswa atau seniman Islam yang tergabung dalam Teater Muslim.

A.R. Baswedan banyak berinteraksi dengan anak-anak muda. Beberapa anak muda yang dekat dengan A.R. Baswedan di antaranya adalah Alm. Ahmad Wahib, Anhar Gonggong, Cak Nun, Syu’bah Asa, WS Rendra dan hampir semua aktivis muda di Yogyakarta pada periode 1960-an sampai 1980-an.

Tulisan-tulisan A.R. Baswedan tersebar di banyak media. Tapi sayang, tak semua tulisannya sempat terkumpulkan dan diterbitkan secara kronologis. Berikut ini sebagian karya A.R. Baswedan yang sempat dikumpulkan dan dicetak:

Debat Sekeliling PAI (tahun 1939)

Beberapa Catatan tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (1974)

Buah Pikiran dan Cita-cita AR Baswedan (diterbitkan Sekjen PAI, Salim Maskati).

AR Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis [2016] (kumpulkan tulisan terpilih A.R. Baswedan dan tentang A.R. Baswedan dari peneliti).

AR Baswedan menyelesaikan naskah autobiografinya di Jakarta pada akhir bulan Februari 1986. Sekitar 2 minggu kemudian, kondisi kesehatan A.R. Baswedan menurun dan meninggal. A.R. Baswedan dimakamkan di TPU Tanah Kusir berdampingan dengan para pejuang Indonesia yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Peninggalan A.R. Baswedan adalah koleksi buku-bukunya yang berjumlah lebih dari 5.000 buku. Wasiat A.R. Baswedan adalah buku-buku itu dijadikan perpustakaan. Buku-buku berbahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Indonesia itu ditata rapi (dengan katalog modern) di kamar depan—yang dahulu menjadi ruang kerjanya—di rumahnya di Yogyakarta dan masyarakat luas, terutama kaum mahasiswa, bisa dengan mudah mengakses koleksi buku-buku peninggalan A.R. Baswedan.

 

*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here