Berdoa, Tidak Perlu

0
947

Oleh Agus Hariono

Duhulu, ia adalah orang terpandang. Setiap gerak geriknya menjadi perhatian banyak orang. Aktivitasnya selalu menjadi bibir tetangga dan masyarakat sekitarnya. Banyak warga masyarakat dekat dan simpati padanya. Tanpa diminta, bantuan datang silih berganti. Bak orang terbaik dan paling baik di lingkungannya.

Namun, kini ia tidak lagi seperti dahulu. Mukanya memelas. Tidak tampak sedikit pun air muka harapan masa depan di wajahnya. Ia merasa sangat kecewa. Tidak ada lagi yang memerdulikannya. Tidak ada lagi yang memperhatikannya. Hidup seolah tak berguna dan tak ada harapan. Dari seorang yang dulu “somebody” sekarang jatuh menjadi “nobody”. Dari seorang yang selalu disapa, sekarang menjadi bukan siapa-siapa.

Ia benar-benar kecewa. Setiap sehari semalam selalu melaksanakan shalat. Berdzikir, wirid, berdoa tidak pernah ia tinggalkan. Semua upaya mendekatkan diri dilakukan dengan harapan ia dapat kembali seperti sedia kala. Kesengsaraan, kepedihan, penderitaan agar segera hengkang dari kehidupannya. Ia kembali menjadi manusia sebagaimana yang lain. Terlebih kembali menjadi yang dihormati, dipuji dan disanjung.

Yang terjadi justru tidak demikian, selama puluhan tahun berdoa, namun juga tidak ada tanda-tanda Tuhan mengabulkan doa. Keadaannya tetap tak berubah. Ia sadar mungkin doa dikabulkan karena banyaknya dosa. Tapi ia balik memertanyakan, siapa di dunia ini yang tidak berdosa. Semua orang pasti berdosa. Kalau begitu apa gunanya berdoa. Toh, doanya tidak didengar.

Tentu saja banyak seperti orang tersebut. Orang miskin yang seringkali diperlakukan tidak adil oleh warga sekitarnya. Orang yang iri dengan jabatan rekannya, lalu menjatuhkannya. Perempuan yang shalihah, dihianati suaminya. Seorang akademisi yang pindah agama, lantaran kecewa ditipu oleh seorang kiyai. Mereka semua kecewa berat, sampai pada kesimpulan, berdoa tidak perlu.

Ada dua alasan, menurut Jalaludin Rakhmat, mengapa mereka sampai pada kesimpulan tersebut. Pertama, kesulitan hidup tak pernah selesai dengan doa. Kedua, bila doa kita tidak dikabulkan karena gelimang dosa, sedang semua orang pasti berdosa, apa perlunya berdoa.

Jika demikian, lanjut Rakhmat, apa bedanya doa dengan lampu aladin. Memandang doa sebagai mantra magis untuk mengedalikan alam semesta. Ketika kita berdoa, kita berharap, Tuhan harus keluar dan bersimpuh mengabulkan apa yang kita minta. Lalu, kita minta sekehendak kita, kalau tidak dikabulkannya, lalu kita marah kepadanya. Kita kecewa dan segera membuang lampu aladin.

Kalau demikian adanya, patut kita renungkan ungkapan Imam Ja’far Shadiq, “Bila Anda ingin tahu posisi Anda di sisi Tuhan, maka lihat posisi Tuhan di hati Anda.” Begitulah seharusnya kita, tahu diri terhadap Tuhan. Betapa rendahnya kita memosisikan Tuhan sebagai jin dalam lampu aladin. Kita mungkin dapat berkilah, bahwa doa kepada Tuhan ibarat ungkapan cinta kepada kekasihnya. Namun, cinta masa puber. MencintaiNya karena memerlukanNya.

Ada sebuah cerita yang berasal dari hadis qudsi. Dalam hadis qudsi ini mengisahkan dua raja. Dulu ada seorang yang sepanjang hidupnya dzalim dan suka berbuat maksiat. Kemudian tiba-tiba ia jatuh sakit. Para tabib mengatakan, agar dia segera berpamitan kepada keluarganya karena sakit tidak dapat disembuhkan kecuali dengan sejenis ikan. Pada masa itu bukan musimnya ikan muncul di permukaan. Namun, Tuhan mendengar itu, lalu memerintahkan para malaikat untuk menggiring ikang-ikan agar muncul di permukaan. Ringkasnya raja tersebut dapat dapat memakan ikan itu, lalu sembuh.

Sementara, pada saat yang sama, ada seorang raja yang adil lagi shaleh sedang jatuh sakit. Para tabib juga mengatakan bahwa obatnya adalah ikat yang sama. Sang tabib mengatakan bahwa agar tidak khawatir karena sekarang sedang musimnya ikan muncul di laut. Sangat mudah mencari jenis ikan tersebut. Namun, justru Tuhan memerintahkan para malaikat untuk menggiring ikan masuk ke sarang-sarangnya. Akhirnya, sang raja adil tidak mendapatkan ikan, dan menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebagaimana kita yang hidup di bumi, konon para malaikan di atas sana juga bingung, mengapa doa raja yang shaleh itu tidak dikabulkan, sementara raja yang dzalim justru yang dikabulkan. Lalu, Tuhan berfirman, “Walaupun Raja itu zalim dan banyak berbuat dosa, tapi dia pernah juga berbuat baik. Demi kasih sayang-Ku, aku berikan balasan pahala amal baiknya. Sebelum meninggal dunia, masih ada amal baiknya yang belum aku balas. Maka aku segerakan membalasnya, supaya dia datang kepada-KU hanya dengan membawa dosa-dosanya”. Artinya sudah tidak ada lagi amal salehnya yang harus dibalas Tuhan. Artinya sudah tidak ada lagi amal shalehnya yang harus dibalas.

“Demikian juga dengan Raja yang adil dan saleh itu. Walaupun dia banyak berbuat baik, tapi dia pernah juga berbuat buruk. Aku balas semua keburukannya dengan musibah. Menjelang kematiannya, masih ada dosanya yang belum KUbalas. Maka, AKU tolak doanya untuk mendapatkan kesembuhan, supaya bila dia datang kepada-KU, dia hanya membawa amal salehnya”. Artinya sudah tidak ada lagi dosanya yang harus dibalas Tuhan.

Dalam sebuah hadis qudsi yang lain, Tuhan berfirman kepada para malaikat; “Di sebelah sana ada seorang hambaKu yang fasik, banyak berbuat dosa, berdoa kepadaKu. Segera penuhi permintaannya. Aku bosan mendengar mendengar suaranya. Di tempat lain ada seorang hambaKu yang shaleh sedang berdoa kepadaKu. Tapi, tangguhkan permintaannya. Aku senang mendengar rintihannya.”

Hadis-hadis qudsi tersebut dikutip dari buku Kang Jalal. Ada satu pesan kuat untuk kita semua. Bahwa jika kita mencitai Tuhan dan Dia senang dengan rintihan kita, mari kita berdoa terus menerus dan terus merintih di hadapan Tuhan.

Plemahan, 29 Maret 2022

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here