Berilmu Tinggi

0
268

Oleh Agus Hariono

Suatu hari syaikh Abdullah Turughbadhi dari Kota Thus membentangkan taplak meja dan membagikan roti kepada murid-muridnya. Ketika itu pula Mansur Hallaj—lebih populer dengan panggilan Al-Hallaj—datang dari kota Kismir berpakaian hitam dan memegang dua ekor anjing hitam. Sang Syaikh berbicara kepada murid-muridnya bahwa akan datang seorang pemuda ke jalan ini. Bangunlah kalian semuanya dan carilah dia karena dia akan melakukan hal yang sangat besar.

Mereka pun mencari Al-Hallaj dan membawanya. Sang Syaikh sesaat setelah melihatnya mempersilahkan tempatnya untuk Al-Hallaj. Al-Hallaj duduk dan membawa anjingnya turut serta di dekat meja Sang Syaikh. Melihat itu, Sang Syaikh tak merasa keberatan. Sebaliknya dia memakan roti dan memberikan sebagian roti itu kepada anjing Al-Hallaj. Murid-murid Sang Syaikh merasa terkejut.

Ketika Al-Hallaj pergi Sang Syaikh berdiri dan mengucapkan selamat jalan. Setelah Sang Syaikh kembali murid-muridnya bertanya mengapa engkau membiarkan pemuda itu yang makan bersama anjingnya duduk di tempat seorang musafir yang kehadirannya di sini membuat seluruh makanan kita najis.

Anjing anjing ini jawab Sang Syaikh adalah dirinya sendiri. Mereka tinggal di luar dirinya dan berjalan mengikutinya. Sedangkan anjing kita tetap berada di dalam diri kita dan kita yang mengikuti inilah perbedaan antara seorang yang mengikuti anjingnya dan seseorang yang diikuti anjingnya. Anjing anjing ada di luar dan engkau dapat melihat mereka. Tetapi anjing-anjingmu tersembunyi. Tingkatan orang itu ribuan kali jauh lebih tinggi dari kalian.

Kita dapat belajar dari kisah di atas. Bahwa orang yang berilmu tinggi tidak selalu menampilkan dirinya dengan ketinggian bahasa dan kemewahan harga benda. Tidak pula menyombongkan diri dengan berbagai kelebihananya. Dan kita pun tidak bisa hanya menilai seseorang dari penampilannya saja. Justru bisa jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ubaidah, “Ketahuilah bahwa boleh jadi orang membersihkan bajunya malah mengotori agamanya. Bisa jadi orang yang merasa memuliakan dirinya padahal hakikatnya ia menghinakan dirinya sendiri.”

Sebagaimana dalam kisah ini, orang berilmu tinggi justru muncul dalam sosok seorang pemuda tunawisma yang menuntun anjing. Hanya orang-orang yang berilmu tinggi pulalah yang mampu mengenali jati diri orang- ini. Sementara orang awam yang keilmuannya ala kadarnya jelas tidak mampu menyingkap tabir orang-orang berilmu tinggi semacam ini.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa sejati kedalaman dan ketinggian ilmu adalah ketika seseorang menyadari betapa banyaknya yang harus dipelajari. Sekaligus menyadari bahwa ilmu kita masih sangat terbatas. Maka dengan rendah hati insya Allah justru kita dapat terus belajar dan mengembangkan pemahaman kita.

Rendah hati dan sederhana sejatinya senjata ampuh mencegah kesombongan. Kesombongan dalam betuk apa pun dapat merusak nilai-nilai keilmuan, sekaligus menghalangi bagi pertumbugan diri. Dengan rendah hati, selain menghargai ilmunya sendiri juga menghormati pengetahuan orang lain. Rendah hati membuat siapa pun menjadi teladan bagi yang lain. Penampakan kehidupan yang sederhana dan rendah hati juga memberikan ispirasi bagi orang lain untuk mengikuti jejak yang sama.

Jika kita dalami lagi, dalam kisah tersebut juga sebenarnya juga memberi kiasan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. Anjing dalam kisah tersebut merupakan kiasan keburukan diri seseorang. Orang yang menuntun anjing artinya keburukan sudah berada di luar dirinya. Dengan menuntun anjing berarti dia sudah dapat mengendalikan keburukan dalam dirinya. Itu jelas berbeda dengan kita yang mungkin saja masih termasuk orang yang anjing-anjing atau keburukannya masih bersemayam dalam diri. Wallahu a’lam!

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here