Harta, Anak dan Kesalehan

0
1090

Oleh Bahrus Surur-Iyunk

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah cerita yang cukup mengharukan. Sebuah kisah yang benar-benar terjadi dan dialami sepasang suami istri di Sumenep. Kedua pasangan muda itu tergolong cukup mapan secara ekonomi. Maklum, sang suami adalah guru Pegawai Negeri Sipil. Isterinya sukses membangun bisnis rumahan. Dalam urusan kekayaan, mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Semua tercukupi dan berlimpah.

Namun, setiap malam pasangan muda ini senantiasa diliputi kegelisahan yang mendalam. Pasalnya, kehidupan rumah tangga mereka yang telah berjalan 17 tahun belum dikaruniai buah hati cinta oleh Yang Maha Kuasa. Banyak usaha yang telah dilakukan oleh pasangan sukses ini, mulai dari dokter spesialis, ramuan alternatif dan konsultasi kepada para kiai.

Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan ingin berdoa langsung di depan Ka’bah. Di depan pintu Ka’bah (Multazam), sang isteri berdoa dengan sepenuh hati kekhusyu’an, “Ya Allah ya Tuhan Kami, karuniai kami keturunan. Kami rela sebagian dari apa yang telah Engkau berikan kepada kami terkurangi, asal Engkau memberi buah hati keturunan kepada kami. Terimalah doa kami, ya Tuhan.” Inilah doa yang selalu diucapkan sang isteri di depan pintu Ka’bah saat melakukan thawaf.

Berselang satu setengah tahun, doa mereka dikabulkan Allah. Pasangan ini dikaruniai keturunan, seorang anak laki-laki. Bahkan, tiga tahun kemudian, pasangan ini ditambah oleh Allah dengan lahirnya seorang anak perempuan. Lengkap sudah apa yang menjadi impian dan harapan pasangan sukses selama ini.

Entah karena takdir Tuhan sebagaimana kerelaan sang isteri ketika berdoa di Multazam atau karena keadaan yang menjadikan usahanya mundur, seiring berjalannya waktu kekayaan pasangan ini berkurang. Satu demi satu tanah dan kebunnya terjual. Mobil pick up-nya juga dilego. Hingga akhirnya, mereka menjual satu-satunya rumah peninggalan orang tua mereka. Untung, pasangan ini masih sempat menyelesaikan kuliah putera-puterinya.

Itulah sepenggal cerita nyata tentang bagaimana seorang manusia merindukan kehadiran anak dan mencintainya. Namun, agak sedikit berbeda dengan Irwan dan Ina, sepasang suami isteri yang bekerja tugas ke luar negeri meninggalkan anaknya, Ita, yang berusia 3 tahun bersama pembantunya di rumah (sebagaimana diceriatakan Marpaung Parlindungan dalam buku Setengah Isi Setengah Kosong). Pada usia yang penuh eksplorasi diri itu, ia suka mencoret-coret tembok, tanah dan apapun yang ada didepannya.

Suatu pagi ketika pembantunya sedang menjemur pakaian, Ita mencoret-coret tanah di halaman belakang. Puas mencoret tanah, ia menemukan paku berkarat dan mencoret-coret mobil warna hitam ayahnya. Tanpa sepengetahuan pembantu yang sibuk menjemur, mobil itu sudah penuh dengan coretan gambar tak beraturan karya Ita.

Begitu ayahnya pulang, dengan bangga Ita menunjukkan coretan gambar di mobil. Bukan pujian yang diterima, melainkan kemarahan. Ia memarahi pembantu yang tidak mengawasi Ita, kemudian menghukum anaknya. Dengan alasan mendisiplinkan, dipukullah kedua telapak tangan dan punggung tangan anaknya dengan apa saja yang ia temui di sekitarnya. Si ibu hanya diam, seakan merestui tindakan “mendisiplinkan” yang ditegakkan sang ayah.

Sore hari ketika dimandikan, Ita menjerit-jerit menahan pedih. Esok harinya tangan Ita mulai membengkak, sementara ayah ibunya tetap bekerja seperti biasa. Ketika pembantunya melapor, ibunya hanya bilang, “Oleskan obat luka saja!”

Tiga hari kemudian, badan Ita mulai panas. Ketika dilaporkan, orang tuanya hanya memerintahkan agar diberi obat penurun panas. Hingga suatu malam, panasnya semakin tinggi. Karena merasa sudah tidak mampu, barulah orang tuanya membawa Ita ke rumah sakit. Hasil diagnosis dokter mengharuskan Ita dirawat di rumah sakit dan melihat perkembangan berikutnya.

Seminggu kemudian, dokter memanggil kedua orang tua Ita dan mengatakan, “Luka di tangan Ita sudah bernanah dan membusuk. Kami sudah berusaha, tapi infeksinya telah menjalar karena terlambat. Untuk menyelamatkan Ita, tidak ada pilihan lain… tangan Ita harus diamputasi.”

Mendengar penjelasan dokter, ayah ibu Ita kaget bagai disambar petir. Dengan tangisan dan air mata, mereka dengan sangat terpaksa menandatangani surat persetujuan amputasi satu-satunya anak yang paling disayangi.

Setelah sadar dari biusnya, Ita terbangun sambil menahan rasa sakit dan bingung melihat tangannya yang terbalut kain putih. Sementara itu, ayah ibu dan bibi pembantunya menangis di sampingnya. Sambil menahan rasa sakit, Ita berucap lirih sambil menangis kepada kedua orangtuanya, “Papa, Mama, Ita tidak akan melakukannya lagi. Ita sayang Papa, sayang Mama, juga sayang Bibi. Ita minta ampun sudah mencoret-coret mobil Papa. Papa, sekarang tolong kembalikan tangan Ita! Untuk apa diambil? Bagaimana nanti kalau Ita mau main sama teman-teman Ita. Papa..Mama, tolong kembalikan, pinjami Ita sebentar saja. Ita mau salim minta maaf sama Papa, Mama dan Bibi!”

*****

Hidup yang kita jalani ini adalah sebuah pilihan, meski pilihan itu kadangkala muncul tanpa disadari dan tak terpikirkan sebelumnya. Karena begitu tinggi semangat untuk menginginkan keturunan, seseorang (mungkin) secara tidak sadar merelakan hartanya terkurangi demi anak. Sementara itu, pasangan kedua tanpa disadari pula ternyata lebih mencintai hartanya ketimbang kebaikan anaknya. Ujungnya, sama-sama menyemai penyesalan di dalamnya. Dan, ternyata, menjalani hidup ini memerlukan kesadaran dan kesabaran, tentunya.

Entah berapa kali Allah mengingatkan kita dalam Al-Quran bahwa harta dan anak adalah cobaan atau fitnah. Dengan kelapangan rizki manusia diuji sampai di mana ia dapat memelihara amanat dan menggunakannya sesuai dengan perintah-Nya. Dengan anak dan keturunan manusia juga diuji bagaimana dapat mendidiknya dan menjadikannya agar kelak ia menjadi saleh-salehah. Dan kesalehan inilah sesungguhnya yang menjadi investasi dunia akhirat.

Di samping investasi dunia akhirat, anak dan keturunan kita adalah katalisator. Yang mengkhawatirkan seseorang atas keberadaan dan ketiadaan seorang anak dan keturunan sebenarnya bukan siapa yang akan mewarisi harta benda dan kekayaan kita setelah kita meninggal, melainkan siapa yang akan mendoakan kita setiap waktu manakala kita sudah mati dan tidak dapat lagi meminta ampunan kepada Tuhan. Tentu saja, anaklah yang kita harapkan untuk mendoakan memintakan ampun atas dosa-dosa kita kepada Tuhan. Kesalehan anak inilah yang menyambungkan hubungan kita kepada Allah.

Lebih dari sekedar doa, anak yang saleh juga merupakan cerminan dan citra kebaikan kita selama hidup di dunia. Ketika orang tua bisa mendidik, menasehati dan memberi teladan kebaikan kepada anaknya dan menjadi saleh-salehah, maka orang tua akan mendapat “kiriman” pahala sepanjang hidup dan kematiannya. Di sinilah letak investasi kebaikan yang sesungguhnya. Kita patut bersyukur, karena Allah tidak melipat-limpahkan dosa yang dilakukan anak kepada orang tuanya. Sekali lagi, hanya kebaikan dan pahala yang akan dilipat-limpahkan kepada orang tua ketika kebaikan itu dilakukan anak dan orang lain. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Bahrus Surur-Iyunk adalah Guru SMA Muhammadiyah I Sumenep, Penulis buku Matahari di Balik Benteng Tradisi Satu Abad Sejarah Muhammadiyah Sumenep (UAD Press, Desember 2022).

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here