Inspirasi Menulis dari Gus Ulil

0
1567

Webinar Literasi Nasional dengan tema “Proses Menulis Kreatif dan Produktif” diselenggarakan Sahabat Pena Kita (SPK) pada Sabtu, 6 Februari 2021, secara online melalui zoom. Webinar dalam rangka Kopdar VI SPK ini bekerjasama dengan STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang.

Saya diberi amanah oleh panitia sebagai pembawa acara. Sekecil apapun tugas yang diberikan, saya berusaha menjalankan sebaik-baiknya. Memastikan laptop bisa tayang dengan baik, menyiapkan zoom via HP untuk cadangan bila laptop eror, charger laptop dan HP, buku, pulpen, tissue, air minum, kipas angin adalah beberapa hal teknis yang disiapkan. Soal terjadi sesuatu saat proses berlangsung, setidaknya sudah kita antisipasi sedini mungkin agar bisa teratasi dengan cepat.


Narasumber pertama webinar literasi ini adalah Bapak Ulil Abshar Abdalla, M.A. atau akrab disapa Gus Ulil. Sudah lama saya mendengar nama beliau, kebetulan beliau menikah dengan Ienas Tsuroiya, teman seangkatan kami di Fakultas Sastra UGM, angkatan 91, namun beda jurusan. Ienas Sastra Perancis, saya Sastra Arab. Tentu senang berteman dengan putri Gus Mus.

Berkegiatan sesama mahasiswa UGM, baik di fakultas maupun tingkat universitas, melalui Jamaah Shalahuddin, menempa jiwa ukhuwah Islamiyah dan keindonesiaan kami. Asyik saja adanya. Bergembira menebar syiar dakwah dan ikhtiar mewujudkan kehidupan damai dalam segala perbedaan.

Berikut ini beberapa hal menarik yang saya catat tentang proses menulis kreatif dan produktif Gus Ulil.

Pertama, yaitu tulisan akademis tidak harus kering. Tentu saja ini menarik dikaji, karena seringkali kita memisahkan dan membuat dikotomi yang justru menyusahkan diri sendiri. Gus Ulil mencontohkan tulisan Ignas Kleden, Budi Hardiman dan Yudi Latif. Tulisan Yudi Latif indah, koheren, logis, dan seterusnya.

Kedua, yaitu menulis itu perjuangan. Gus Ulil menguraikan naqdul adab atau kritik sastra yang mengajarkan “bagus di aspek ini, kurang di bagian ini”. Ketika membaca, kita tahu ada tulisan-tulisan yang menggoncangkan kita.

Oleh karena itu, kata Gus Ulil, “Menulislah dengan gramatika yang benar dan lengkap sebagai kalimat. Kita perlu membaca tulisan-tulisan orang terdahulu.”

Ketika ditanya bagaimana kiat menjadi penulis kreatif dan produktif, dengan anggun Gus Ulil menjawab bahwa menulis adalah sesuatu yang tidak bisa dikompromikan. Tidak bisa cepat. Tidak bisa setahun dua tahun. Mungkin butuh waktu 4 sampai 5 tahun. Mengapa? Agar tulisan memiliki gaung, mempunyai implikasi.

Yang saya fahami dari narasi tersebut adalah perlunya kita menjalani proses menulis, menulis dan menulis. Mengupayakan agar tulisan kita menjadi lebih baik dan lebih baik dari hari ke hari.

“Saya senang pada orang yang mendorong orang lain untuk menulis, yaitu semangat menulis dan kualitas tulisan,” ujar Gus Ulil.

Dalam hal ini, misi inilah yang dibawa oleh komunitas menulis Sahabat Pena Kita. Mendorong orang lain untuk menulis karena memacu semangat menulis itu dibutuhkan kekuatan dan kebersamaan. Mengingatkan diri kita dan orang lain untuk terus meningkatkan kualitas tulisan adalah sebuah keniscayaan.

Satu lagi yang menarik di akhir sesi Gus Ulil adalah “Mulailah membangun tradisi mengkritik. Kritik itu bukan serangan personal.”

Tentu saja pesan itu penting bagi pengembangan komunitas menulis. Di komunitas menulis ada banyak orang dan banyak karakter. Sangat bisa difahami karena setiap orang memiliki latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, bahasa yang berbeda-beda. Apalagi di masa pandemi ini, PSBB diperpanjang dan diberlakukan kembali. Kritik terhadap tulisan sesama anggota komunitas menulis memerlukan sikap legowo semua pihak, baik yang memberi kritik, maupun penerima kritik.

Bukan hal mudah memang. Membutuhkan kesiapan mental prima. Penulis kritik memang perlu nothing tulus, keluar dari lubuk hati terdalam, semangatnya hanya ingin membaikkan tulisan sahabatnya. Terbuka ruang diskusi bersama, yaitu dengan kesempatan untuk menulis dan terus menulis.

Akhirnya, dari waktu ke waktu saya harus belajar meningkatkan kualitas tulisan. Membuka seluas-luasnya pintu kritik perlu dilakukan sejak hari ini. Mengobarkan semangat membaca, di mana pun, kapan pun. Menulis dan menulislah.

Pagi cerah di Yogyakarta, 8 Februari 2021

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here