Menakar Kaderisasi Ulama Perempuan

0
497

Menakar Program Kaderisasi Ulama Perempuan

Akhir-akhir ini, berita tentang kekerasan terhadap perempuan kian marak. Dari kasus Jagakarsa, Bekasi, Cirebon, Malang, hingga Padang. Ibarat gunung es, fakta menunjukkan bahwa sekian kasus yang mengemuka ini hanya representasi dari sekian ribu lainnya yang bahkan mungkin lebih sadis.

Desember seperti ini adalah momen yang tepat untuk melakukan peninjauan ulang (revisitation) terhadap posisi perempuan: sejauh mana mereka – meski menjadi korban – mampu berkontribusi dalam mengurangi angka terjadinya kekerasan tersebut. Sebab, setidaknya dalam bulan tersebut ada dua hari peringatan yang berkaitan dengan emansipasi perempuan; 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (25 November – 10 Desember) dan Hari Ibu (22 Desember).

Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah, Salmah Orbaniyah, menganalisis setidaknya ada dua problem mendasar yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan; spiritualitas dan ekonomi.

Spiritualitas memang tidak mudah dijelaskan. Namun bisa dikatakan bahwa satu aspek riil dari kehidupan manusia yang paling dekat dengannya adalah intelektualitas. Artinya, spiritualitas seseorang sesungguhnya amat ditentukan oleh intelektualitasnya. Di sisi lain, intelektualitas yang baik akan juga berkontribusi pada perbaikan tingkat ekonomi kehidupannya. Karena itu, dua problem di atas sesungguhnya berpangkal pada intelektualitas.

Dalam konteks upaya pemberdayaan intelektualitas perempuan, apresiasi patut diberikan terhadap program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI). Selain program reguler S2 dan S3, Masjid Istiqlal bekerja sama dengan Universitas PTIQ Jakarta juga menawarkan program gelar S2 lain bernama Pendidikan Kader Ulama Perempuan (PKUP).

Kaderisasi Ulama Perempuan

Diinisiasi pada 2022, visi program ini adalah untuk mencetak para kader ulama perempuan yang berakhlak mulia dan berpandangan moderat sehingga dapat menjadi rujukan umat, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional (PKUMI, 2023).

Hingga sekarang, tercatat ada 62 mahasiswi dan mahasiswa yang menempuh program tersebut. Menariknya, lantaran yang menjadi titik tumpu adalah studi kesetaraan gender – khususnya perempuan, maka yang menjadi mahasiswa tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki yang berminat terhadap isu-isu tersebut.

Materi perkuliahan dirancang untuk menganalisis apakah tradisi keagamaan berikut peraturan dan kebijakan Pemerintah yang ada sudah cukup responsif terhadap isu-isu kesetaraan perempuan. Hal ini berangkat dari fakta bahwa fenomena ketimpangan relasi antara lelaki dan perempuan dalam banyak kasus begitu nyata.

Dalam konteks kehidupan keluarga, sebagai contoh, seorang istri terhadap suami sering kali dipersepsikan hanya sebagai – meminjam filsafat Jawa – ‘kanca wingking’, yaitu teman pelengkap yang berada di belakang. Berangkat dari pemahaman yang keliru, sebagian suami lantas menjadi semena-mena karena dijadikan pemimpin begitu saja (taken for granted) sehingga selalu merasa benar. Sebagian istri juga seakan mendapatkan justifikasi untuk tidak ikut aktif berperan di ruang publik sehingga tampak termarginalkan.

Merespon hal ini, PKUP berusaha mengarusutamakan kesetaraan (equity) – ­bukan penyamarataan (equality). Kesetaraan di sini lebih merujuk pada keseimbangan. Beberapa perbedaan fisik antara lelaki dan perempuan merupakan isyarat bahwa penyamarataan sepenuhnya tidak bisa diterapkan kepada keduanya.

Konsekuensinya, bentuk dan porsi keterlibatan seorang istri baik di ruang domestik maupun publik sangat mungkin sama dengan suaminya, namun tidak juga menutup perbedaan. Pembagian hak dan kewajiban masing-masing lebih merupakan hasil musyawarah berdasarkan etika dan penalaran.

Karena itu, yang menjadi titik tolak penilaian adalah persamaan bobot tanggung jawab. Suami dan istri sesungguhnya setara di hadapan, dan bertanggung jawab terhadap, Tuhan. Dari sini, tampak relevansi antara kesetaraan dengan spirit moderasi sebagaimana termaktub dalam visi PKUMI.

Kesetaraan dan Moderasi

Moderasi, dalam KBBI, berarti penghindaran keekstreman. Artinya, moderat adalah kecenderungan untuk mengambil jalan tengah. Dalam konteks Islam, sedari awal agama ini mengajarkan sikap moderat. Yang kemudian menjadi masalah adalah ketidakmampuan sebagian pemeluknya untuk menyadari dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Yusuf al-Qaradlawi, salah satu tokoh utama moderasi beragama, dalam karyanya Fiqh al-Wasatiyyah al-Islamiyyah wa al-Tajdid (2009) mengemukakan enam dimensi moderasi; keadilan (‘adl), konsistensi (istiqamah), kesempurnaan (khairiyyah), keamanan (aman), kekuatan (quwwah), dan titik temu (markaz al-wihdah). Dari sini, tampak jelas bahwa yang paling mendekati kesetaraan adalah keadilan. Karenanya, mengarusutamakan kesetaraan berarti mengarusutamakan moderasi.

Sedemikian signifikan moderasi sehingga hari ini ia menjadi tema sentral dalam konstelasi kesarjanaan Islam di Indonesia. Pertama kali diinisiasi pada 2019 oleh Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI Periode 2014 – 2019, pemahaman dan penguatan terhadap moderasi beragama terus dilakukan sehingga bahkan telah diadopsi menjadi salah satu program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pada takaran ini, PKUP dapat dilihat sebagai jihad intelektual Masjid Istiqlal dan Universitas PTIQ Jakarta dalam ikut serta mengarusutamakan kesetaraan perempuan. Akselerasi program seperti ini setidaknya menyelesaikan dua permasalahan sekaligus. Dengan intelektualitas yang dimilikinya, seorang perempuan mampu meningkatkan spiritualitasnya; dan intelektualitas itulah yang kemudian memudahkannya membuka keran-keran ekonomi.

Dalam konteks keluarga, seorang istri pun tidak lagi dianggap kanca wingking, tapi kanca ngajeng, yaitu seorang partner di depan, yang setara bagi suami dalam mengarungi kehidupan keluarga. Ketika daya tawar  seorang istri tinggi, ia pun tidak mudah dilecehkan. Walhasil, mengkader ulama perempuan yang baik sesungguhnya sama artinya mempersiapkan ibu yang baik. Selamat Hari Ibu! (*)

 

*) MUHAMMAD ABDUL AZIZ. Peserta Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) Jakarta; Visiting PhD Researcher di Hartford International University for Religion and Peace, Amerika Serikat.

 

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here