Oleh: Prof. Dr. Muhammad Chirzin
Hj. Rangkayo Rasuna Said (14 September 1910 – 2 November 1965) adalah pejuang kemerdekaan dan politikus. Seperti Kartini, ia memperjuangkan persamaan hak antara pria dan wanita. Rasuna Said dilahirkan di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, keturunan bangsawan Minang. Ayahnya, Muhamad Said, saudagar Minangkabau, aktivis pergerakan, guru, tokoh Taman Siswa. Keluarga beragama Islam yang taat.
Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja dikirimkan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah. Saat itu, ia merupakan satu-satunya santri perempuan. Ia dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Ia pindah ke Padang Panjang, bersekolah di Diniyah School yang menggabungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran khusus. Di sana ia bertemu dengan Rahmah El Yunusiyah, tokoh gerakan Thawalib yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatera Barat.
Pada tahun 1923 Rasuna Said menjadi asisten guru di Sekolah Diniyah Putri. Ia kembali ke kampung halamannya tiga tahun kemudian setelah sekolah itu hancur karena gempa. Dia lalu belajar selama dua tahun di sekolah yang terkait dengan aktivisme politik dan agama, dan menghadiri pidato yang diberikan oleh direktur sekolah tentang nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1928 Rasuna Said menjadi anggota Partai Sarekat Islam, naik ke posisi kepemimpinan cabang Maninjau. Rasuna Said sangat memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita.
Pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah saja, tetapi harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak.
Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah, ayah HAMKA, yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir.
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang. Pada tahun 1930 Rasuna Said bergabung dengan Sumatra Thawalib dan mendirikan organisasi Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi yang berbasis Islam dan nasionalisme.
Tahun berikutnya, Rasuna Said kembali mengajar di Padang Panjang, meninggalkan pekerjaannya, setelah berselisih dengan pemimpinnya, karena Rasuna telah mengajar murid-muridnya tentang perlunya tindakan politik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, dan pindah ke Padang. Di sana dia mendirikan sekolah untuk anak perempuan. Rasuna Said ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI, kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.
Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda. Rasuna Said wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapa pun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda. Pada tanggal 23 Oktober 1932, dalam rapat umum bagian perempuan Permi di Padang Panjang, Rasuna menyampaikan pidato publik berjudul “Langkah-Langkah Menuju Kemerdekaan Rakyat Indonesia.” Ia mengutuk penghancuran mata pencaharian rakyat dan kerusakan yang dilakukan oleh kolonialisme.
Dalam pidato lain di Payakumbuh di hadapan seribu orang, dia mengatakan bahwa kebijakan Permi adalah memperlakukan imperialisme sebagai musuh. Meski mendapat peringatan dari pejabat, dia melanjutkan pidatonya, dan sekali lagi mengatakan bahwa Al-Quran menyebut imperialisme sebagai musuh Islam.
Rasuna Said mendeklarasikan, “Kita harus mencapai kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan harus datang.” Tak lama setelah itu dia ditangkap dan didakwa dengan “menebar kebencian.” Dia dijatuhi hukuman 15 bulan penjara, yang membuatnya terkenal secara nasional, karena jejak dan hukumannya dilaporkan secara luas. Dia menggunakan persidangannya untuk menyerukan kemerdekaan, dan menarik dukungan luas. Dia dipenjara di Semarang, Jawa Tengah. Lebih dari seribu orang datang untuk menyaksikan keberangkatan kapal yang membawanya ke Jawa.
Rasuna Said mengirim surat kepada pengurus Permi sambil menunggu sidang. “Kita berjuang dengan keyakinan! Jika kita menang dalam perjuangan kita, kita akan mendapatkan dua manfaat. Pertama, Indonesia akan merdeka; kedua, surga, seperti yang dijanjikan Allah swt. Dan jika kita gagal –tapi tidak boleh– maka, memang Indonesia merdeka tidak akan tercapai, tapi surga masih menanti. Ini adalah keyakinan kita!”
Rasuna dibebaskan dari penjara pada tahun 1934. Ia belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan Permi di Padang empat tahun. Dia juga bekerja sebagai jurnalis, menulis artikel yang mengkritik kolonialisme Belanda di jurnal sekolah keguruan Raya. Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya yang radikal, tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Polisi Rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apa pun.
Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara. Pada tahun 1937 Rasuna mendirikan perguruan putri, lalu kembali ke Padang setelah invasi Jepang ke Hindia Belanda. Dia ditangkap oleh Jepang karena keanggotaannya dalam organisasi pro-kemerdekaan Indonesia, tetapi dibebaskan dalam waktu singkat, karena pihak berwenang khawatir menyebabkan ketidakpuasan publik.
Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat koran mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, “Ini dadaku, mana dadamu.” Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan. Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”.
Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial. Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poeteri ini, “Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.”
Koran Menara Poeteri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman, Sumatera Barat.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang. Pada tahun 1943 Rasuna Said bergabung dengan pasukan sukarelawan militer Giyugun yang sangat nasionalis, yang telah didirikan oleh Jepang di Sumatera.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Rasuna bekerja dengan organisasi-organisasi pro-republik, dan pada tahun 1947 menjadi anggota senior dan ketua bagian perempuan Front Pertahanan Nasional (FPN). Dia bergabung dengan Volksfront, bagian dari Serikat Perjuangan yang didirikan oleh nasionalis-komunis Tan Malaka.
Akibat gesekan antara organisasi ini dengan pemerintah daerah, Rasuna ditempatkan dalam tahanan rumah selama seminggu. Rasuna juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera, dan pada Juli 1947 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan legislatif sementara. Menjelang sidang keenam KNIP pada tahun 1949, Rasuna Said diangkat menjadi Badan Pekerja KNIP mewakili Sumatra.
Pada tahun 1950 Rasuna Said menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, posisi yang dipegangnya sampai wafat di Jakarta pada tahun 1965. Rasuna meninggal di Jakarta karena kanker darah pada 2 November 1965, meninggalkan seorang putri dan enam cucu. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Pada tanggal 13 November 1974, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan oleh Presiden Soeharto.
*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.