Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Dalam sebuah kesempatan duduk-duduk di gubuk selesai mengumpulkan panenan cabe di ladang, ayahku bercerita tentang masa mudanya. Setelah menamatkan belajarnya di Pondok Pesantren Maskumambang Dukun, ia langsung mengajarkan ilmunya. Saat itu, usianya baru 19 tahun. Berbekal sepeda onthel pemberian sepupunya, Kiai Haji Ridwan Syarqawi, ia jalani tugas guru dengan semangat. Mengayuh sepeda dari Paciran ke Sendang Agung (7 km) adalah hal biasa. Juga ke desa-desa yang lain. Bahkan, saat ibuku opname di Tuban (33 km), ia kayuh tempuh Paciran – Tuban dengan sepeda ragangannya. Itupun tidak hanya sekali PP.
Rupanya, menjadi guru bukan dijadikan sebagai pekerjaan pengais uang. Menjadi guru adalah pengabdian. Buktinya, saat sudah menikah dengan ibuku, ia masih buat sandal bakiak (dari kayu) untuk dijual ke pasar. Bersama ibuku, ia membuat jemblem, sebuah penganan yang terbuat dari singkong di dalamnya ada gula yang mencair setelah digoreng. Kakakku dan Mbakku tukang ngantar ke toko-toko untuk dititipkan.
Bukan hanya itu, ia juga seorang jagal penjual daging sapi dan kambing di pasar; pembeli dan penjual kayu bakar; seorang petani lombok, polowijo dan padi; dan juga peternak ayam potong dan ayam petelor. Semua dijalani.
Kendati demikian, ia tetap menjadi seorang guru: mendidik dan mengajar. Ia mengajar Nahwu Shorof, ilmu faraidh, mengisi pengajian di majelis taklim dan beberapa mushalla, menjadi imam shalat Id di lapangan, menjadi khatib Jumat di masjid, pengisi kuliah Subuh di masjid, dan berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran lainnya.
Menariknya lagi, sepanjang hayatnya, ia pernah menjadi Ketua Takmir Masjid Jami At-Taqwa Paciran, kepala sekolah MAM Pondok Modern, Ketua Pengurus Perguruan Muhammadiyah Paciran. Apakah dengan demikian semua kebutuhan finansial nya tercukupi dan melimpah seperti guru kekinian? Hanya Allah yang menjamin semuanya.
Hingga suatu hari, ia mendapat cobaan. Ibuku sakit. Sebelumnya Mbakku juga sakit, sehingga kebutuhan finansial pun cukup banyak. Mungkin ayahku saat itu sudah tidak memegang uang, ia datang ke salah seorang teman pengurus untuk meminjam uang. Hasilnya nihil. Ia datang ke yang lain, juga pulang dengan tangan hampa. Bahkan, ia yang Ketua Pengurus Perguruan mencoba meminjam ke bendahara. Ditolak juga. Mungkin ayahku saat itu masih belum dipercaya bisa mengembalikan hutangan. Ibuku yang menunggu di rumah hanya diam saja setelah ayahku datang. Seandainya terjadi sekarang mungkin aku sudah meneteskan air mata.
Diam-diam aku yang menyaksikan dan mendengar hal yang demikian dari dalam kamar berpikir dalam hati, masa sih sampai begitunya menjadi guru. Meski Ketua, ia tidak begitu saja memakai uang umat.
Tapi aku yakin, ia bukan untuk uang dunia yang remeh remeh itu menjadi seorang guru. Ketulusan itu sedang diuji oleh Allah. Menjadi guru adalah sebuah pilihan nikmat.
Jika tidak merasakan kenikmatan hidup menjadi seorang guru, ayahku mungkin tidak akan mewasiatkan pesan untuk menjadi seorang guru kepadaku. Aku sering ketemu dengan murid-murid nya yang tersebar di mana-mana. Tidak jarang, muridnya ada yang lebih tua dari ayahku.
Hingga usia senjanya, ia juga masih menjadi murid. Ia mengaji ke Maskumbang. Masih semangat belajar. Bukunya banyak. Di tengah kesibukannya, ia luangkan waktu untuk membaca buku.
Begitulah ayahku. Aku ceritakan semua ini tidak untuk memamerkan kebaikan ayahku. Aku hanya ingin mengatakan betapa ikhlasnya orang-orang terdahulu. Mungkin kita perlu banyak belajar mengasah dan membersihkan mata hati. Aku ingin mengenang dan belajar seperti ayahku yang memilih guru sebagai jembatan menuju ridha dan surga-Nya. Amiin