Oleh Agus Hariono
Semacam tradisi atau setidaknya kebiasaan saat digelarnya Kopdar Sahabat pena Kita (SPK), pasti ada saling memberi hadiah atau apalah sebutannya. Yang pasti komunitas menulis yang bernama SPK ini—kalau meminjam istilah Bu Hitta Alfi Muhimmah—marwahnya adalah menulis. Jadi, produk komunitas menulis adalah buku.
Pada setiap Kopdar pasti ada momentum hadiah menghadiahi. Masing-masing saling tukar menukar karya. Tentu, kalau karya keroyokan pasti semua sudah mendapat jatahnya masing-masing. Tetapi yang berupa karya solo, tentu tidak semua mendapatkan, alias orang-orang khusus. Khusus yang orang yang beruntung. Hehehe. Namanya saja hadiah. Di sebuah kompetisi, hadiah itu biasanya diberikan kepada para pemenang.
Sepanjang Kopdar luring yang pernah saya ikuti, pasti saya membawa pulang buku. Baik yang berasal dari membeli, tukar menukar, maupun gratisan alias hadiah. Pertama kali saya ikut Kopdar 3 SPN akhir 2016—kala itu di Pondok Pesantren Darul Istiqomah, Pakuniran, Maesan, Bondowoso, milik Yai Masruri, salah satu penasehat SPK—saya heran ada seorang anggota yang bernama Joyo Juwoto, nama yang cukup menjawi—belakangan popular dipanggil “Mbah”—membagi-bagikan buku kepada semua peserta Kopdar. Bayangan saya, enak sekali gabung di grup ini, dapat buku gratis. Hehehe. Dari Mbah Joyo saja, saya mendapatkan dua buku secara cuma-cuma. Kesaktian itulah barangkali yang menyebabkan gelar “Mbah” disematkan padanya. Kesaktian menerbitkan buku, lalu dibagikan secara gratis. Ampun Mbah Joyo! Aku wongmu.
Selain Mbah Joyo, saya juga pernah mendapatkan buku gratis dari, Coach Master (alm) Taufiqi pada saat Kopdar di Unesa tahun 2017. Kemudian dari Pak Zaprulkhan dan Bu Budiyanti, saat Kopdar 1 di Unisa Yogyakarta tahun 2018. Lalu, dari Pak Emcho saat Kopdar 2 di IAIN Tulungagung tahun 2019. Selanjutnya, dari Pak Didi dan Bu Sri Suagiastuti, saat Kopdar 3 di Unnes Semarang tahun 2019. Di terakhir Kopdar sebelum pandemi di Unisma Malang tahun 2020, dari Pak Hayat, selalu panitia Kopdar 4 SPK.
Selain pada momentum Kopdar sebenarnya ada banyak anggota yang pernah menghadiahi buku, sebut saja Bu Sri Lestari Linawati—saya memanggilnya dengan Bu Lina—saat saya ada acara di Yogyakarta, kebetulan ada kesempatan untuk bersua dengannya, pulang-pulang dihadiahi buku satu tas penuh. Sebagai ungkapan terima kasih, saya review sebagian buku pemberian Bu Lina tersebut. Lalu, saya masukan sebagai salah satu judul tulisan dalam buku saya, Becoming A Writer. Juga, dari Yai Masruri, membagikan buku gratis kepada seluruh anggota SPN kala itu.
Tentu, saja saya juga mengoleksi buku-buku anggota berupa karya solo, baik dulu yang masih SPN maupun yang sudah SPK. Ada karya-karya anggota tersebut yang saya beli langsung kepada yang bersangkutan, ada pula yang saya dapatkan dari toko buku obral. Hehehe. Iya, waktu itu mampunya masih beli buku di toko obral atau bazar buku.
Di antara karya-karya anggota tersebut antara lain, buku ketua SPN kala itu. Buku Mas Husnaini saya mempunyai tiga judul. Satu dari membeli langsung kepadanya, yang dua dari toko buku obral, yang harganya sangat mourah. Kemudian bukunya, Mas Doktor Azis Tata Pangarsa, saya beli langsung saat Kopdar di Bondowoso. Bukunya Mas Makmun Rasyid, yang dulu pernah jadi anggota SPN maupun SPK, saya punya dua karyanya, semua saya dapatkan dari toko buku obral.
Kemudian karya Master Emcho. Saya memiliki empat judul karya beliau. Satu judul dari membeli langsung. Satu judul dari hadiah. Lalu, dua judul dari toko buku obral. Bukunya Pak Didi saya memiliki empat judul, satu judul dari hadiah, tiga judul buku dari toko obral. Karya Pak Agung Semarang, saya mempunyai dua judul. Satu judul dari membeli langsung, dan satu judul dari toko buku obral. Buku karya Prof. Muhammad, saya memiliki empat judul buku, satu judul dari toko buku yang tidak obral, kemudian tiga judul dari toko buku obral.
Saya menulis “Toko Buku Obral” bukan bermaksud merendahkan, karena memang di Kampung Inggris Pare, banyak toko buku yang menamai tokonya dengan Toko Buku Obral. Yang dijual juga buku-buku berkelas, hanya saja terbitan Gramedia dan anak-anaknya maupun Kompas dan anak-anak, dan penerbit besar lainnya, yang sudah melebih 5 tahun. Jadi, semua buku anggota SPN maupun SPK tersebut saya dapat dari toko-toko buku tersebut. Dulu ketika awal buka, tepatnya akhir 2016, saat Gramedia terbakar, malah banyak buku-buku berkelas lainya yang masih bagus, dijual dengan harga obral.
Di antara karya anggota SPK yang paling banyak saya koleksi adalah karya Prof. Ngainun Naim. Cara perolehannya pun beragam. Timing-nya pun juga berbeda beda. Ada delapan karya Prof. Ngainun yang saya punyai. Dengan rincian, satu judul membeli langsung saat Kopdar 4 SPN di ITS tahun 2017. Lalu, empat judul dari hadiah kala saya dan teman-teman mengikuti bedah buku puisi, karya murid Prof. Ngainun, di IAIN Tulungagung tahun 2017. Satu judul buku kiriman saat saya menjadi penulis tentangnya pada tahun 2020. Satu judul buku dari hadiah saat Kopdar 8 SPK di UNUSIDA. Tepatnya kala sharing di EdOtel SMK Negeri 1 Buduran. Terakhir, satu judul dari toko buku obral, yang berjudul, “Menipu Setan.” Setan saja ditipu. Hehe.
Saya berusaha memiliki karya-karya seluruh anggota SPK, namun bertahap. Semua itu dalam rangka menjalankan petuah Master Emcho, “Hargai penulis dengan membeli karyanya,” atau setidaknya tukar menukar karya. Produk unggulan dari komunitas ini adalah buku. Jadi hadiah paling berharga adalah buku. Mari saling menghadiahi. Hehehe.
Plemahan, 1 Maret 2022