Shalat Jum’at dan Covid-19

0
1070

Dalam sesi tanya jawab Bincang Maqasid kemarin, ada satu pertanyaan yang menarik. Dari balik foto profil Google Meet yang kosong, terdengar suara seorang perempuan. Dengan logat yang khas, yaitu dominasi suara huruf e (seperti dalam emoh-Jawa) di hampir sepanjang pembicaraan yang diutarakannya, seketika saya mengetahui bahwa sang penanya berasal dari seberang sana. Timur selat Malaka.

Saye juga belajar kat UIA (Universiti Islam Antarabangsa), Ustadz,” tandasnya. Si penanya ternyata adalah mahasiswi S3 di Faculty of Education International Islamic University Malaysia (IIUM). Satu almamater dengan Penulis sendiri. Hanya, kalau saya sendiri bernaung di bawah Abdul Hamid Abu Sulayman Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Heritage. Ternyata beliau yang kini sudah dikaruniai tiga orang anak masuk di universitas tersebut 2014. Tahun yang sama ketika saya masuk.

“Di era pandemi seperti ini, banyak orang laki-laki yang tidak melaksanakan shalat Jum’at. Bahkan tiga kali berturut-turut. Padahal, dalam hadits disebutkan bahwa barang siapa yang tidak melaksanakan shalat Jumat tiga kali berturut-turut, maka dia termasuk orang kafir. Macam mane tuh Ustadz?”

“Tidak apa-apa,” jawab saya singkat. Tentu saya berkewajiban menguraikan basis teoritis jawaban singkat tersebut.

Pertama, redaksi hadits yang disampaikan oleh penanya terlihat belum sempurna. Demikan sebab redaksi yang lengkap tersebut sesungguhnya sudah menjawab pertanyaan itu sendiri. Salah satu riwayat yang menyebutkannya adalah seperti yang tertulis dalam al-Muwaṭṭa’ karya Imam Malik bin Anas sebagai berikut:

(رقم 372) وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ مَالِك لَا أَدْرِي أَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ لَا أَنَّهُ قَالَ: مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ.

Redaksi “min ghayr ‘udhr wa lā ‘illah” merupakan taqyīd, yaitu batasan bahwa deklarasi kafir itu sesungguhnya tidak berlaku secara umum bagi siapa saja lelaki yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut. Ia hanya berlaku dalam kondisi ketiadaan alasan yang dibenarkan oleh agama. Alasan tersebut (‘udhr shar‘i), sebagaimana ulas Wahbah Zuhaili,[1] di antaranya adalah seperti sakit (‘illah) dan ketakutan (khawf).

Wabah covid-19 sekarang ini, di daerah tertentu dan bagi beberapa orang, sudah berada dalam tahap mengancap kehidupan (ḍarūrah). Karenanya, takut tertular oleh virus tersebut dengan sendirinya dapat dikategorikan sebagai ‘udhr shar‘i. Seorang laki-laki dengan kriteria di atas dengan demikian dapat mengganti shalat Jum’at yang memang dikerjakan secara terbuka dengan shalat Dzuhur di rumah yang lebih personal.

Selanjutnya, apakah semua rasa takut lantas mendapatkan legitimasi mitigatif dari agama? Rasa takut yang bagaimana yang dapat dikategorikan di bawah payung darurat? Wallāhu A‘lam. (Bersambung, Insha Allah)

 

[1] Wahbah al-Zuhaylī, Al-Fiqh al-Islāmī Wa Adillatuh, vol. 2 (Damascus: Dār al-Fikr, 1985), 169–72.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here