Kebangkitan Nasional dan Moderasi Politik Pendidikan

0
1462

Menjelang digelarnya pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang, akhir-akhir ini para elit partai sudah mulai melakukan berbagai manufer. Mulai dari sosial, politik, budaya, hingga keagamaan. Narasi utama yang muncul dalam ritual politik tersebut adalah bahwa kepentingan rakyat di atas segala-galanya.

Malangnya, sebagai disinyalir oleh Yudi Latif dalam Inkonsistensi Politik Pendidikan (2023), bidang pendidikan sering kali menjadi korban oportunisme politik. Pendidikan dijunjung tinggi dalam orasi politik, namun ia tampak dimarginalkan dalam kebijakan politik praktis yang langsung bersinggungan dengan kepentingan rakyat.

Perubahan kurikulum, peraturan tentang prosedur pencapaian guru besar, hingga intervensi dalam pemilihan rektor adalah contoh terkini bagaimana inkonsistensi itu terjadi. Yang perlu dicatat, Pemilu adalah salah satu pintu dari terjadinya sekian inkonsistensi politik pendidikan tersebut.

Dengan beragam sengkarut masalah pendidikan tersebut, melalui momen Hari Kebangkitan Nasional tahun 2023 ini yang mengambil tema “Semangat Untuk Bangkit”, dunia akademia harus tetap semangat dan tidak boleh putus asa. Semangat untuk restorasi sistem pendidikan harus terus dikobarkan. Pada titik ini, teorisasi gagasan moderasi politik pendidikan merupakan satu hal yang patut untuk dipertimbangkan.

Moderasi Politik Pendidikan

Konsep moderasi politik pendidikan diadopsi dari gagasan moderasi beragama yang dicanangkan oleh Kementerian Agama sejak 2019. Istilah moderasi itu sendiri, menurut KBBI, bermakna penghindaran keekstreman, baik dari ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Apa yang kemudian diharapkan lahir dari paradigma tersebut adalah sikap pertengahan.

Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf al-Qaradlawi dalam Fiqh al-Wasathiyyah wa al-Tajdid (2009), makna moderasi – yang dalam Bahasa Arab dikenal luas dengan sebutan wasathiyyah – sesungguhnya tidak terbatas pada sikap pertengahan alias keseimbangan (tawāzun). Ia juga bermakna konsistensi (istiqamah), keadilan (‘adl), dan kesempurnaan (khairiyyah).

Seseorang yang benar-benar berdiri di pertengahan pada hakikatnya dapat dianggap konsisten. Artinya, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an (1): 6-7, ia konsisten dalam jalur kebenaran (al-sirath al-mustaqim) yang telah digariskan dan tidak terjerembab dalam tindakan ekstrem.

Sikap konsisten inilah yang pada akhirnya mendekatkan pada keadilan. Sebab, orang yang konsisten berdiri di tengah akan mampu menjangkau orang-orang di sekelilingnya dengan jarak yang proporsional dan kekuatan yang sama besarnya. Sebaliknya, jika ia cenderung kepada satu sisi, baik ke kanan maupun ke kiri, maka tindakan tersebut akan berpotensi melahirkan sikap pilih kasih yang berujung pada ketidakadilan. Perpaduan antara sikap pertengahan, konsistensi, dan keadilan inilah yang kemudian melahirkan kesempurnaan. Keberhasilan tidak akan datang kecuali sebuah proses menuju keberhasilan tersebut telah mendekati atau mencapai tahap kesempurnaan.

Dari sini, moderasi politik pendidikan bermakna segala kebijakan Pemerintah seharusnya merujuk pada cetak biru pendidikan nasional yang telah digariskan. Siapa pun yang berkuasa harus berdiri di tengah sehingga tidak memihak kepada hanya golongan tertentu, konsisten terhadap program pendidikan yang telah ditetapkan sehingga tidak mudah-mudah melakukan perubahan yang tidak signifikan, dan menjadikan keadilan sosial sebagai nilai tertinggi dalam implementasi cetak biru tersebut. Jika sikap ini yang menjadi panduan, maka kesempurnaan dan keberhasilan dunia pendidikan hanyalah soal waktu.

Meski demikian, kita tidak boleh menutup mata bahwa di antara argumen yang disodorkan oleh para pejabat penginisiasi perubahan tersebut adalah demi mengimplementasikan inovasi. Pada titik ini, teorisasi al-Qaradlawi tentang karakter moderasi yang menggabungkan antara proporsionalitas tradisi dan kecanggihan inovasi patut untuk dipertimbangkan.

Antara Tradisi dan Inovasi

Al-Qaradlawi berpandangan bahwa pembaharuan dan kemajuan dalam keagamaan, bahkan dalam segala bidang apapun yang diusahakan manusia, sesungguhnya bertumpu pada kemampuan untuk menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi. Setelah menguraikan aneka makna moderasi sebagaimana disebutkan di atas, ulama yang bergelar the global mufti tersebut melanjutkan bahwa:

“Di antara karakter moderasi dan pembaharuan (tajdid) adalah jika kita mampu menghubungkan antara permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang dengan apa yang diwariskan oleh para pendahulu kita. Kita ini sama sekali bukan umat yang lahir dan mewujud tanpa sejarah. Sebaliknya, kita bahkan amat kaya dengan pencapaian sejarah para pendahulu kita yang begitu gemilang.

Peradaban kita hari ini mempunyai akar sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi kita semua untuk memanfaatkan semua warisan yang begitu luas dan beraneka ragam tersebut. Dari kerja intelektual para ahli fiqih, usul al-fiqih, hadits, kalam, tasawwuf, sejarah, sastra, syair, filsafat, dan mereka yang terjun dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup masyarakat.

Meski demikian, perlu kita sadari juga bahwa semua warisan tersebut, bahkan termasuk yang berkaitan dengan persoalan keagamaan, sesungguhnya adalah hasil kerja akal manusia. Maka menjadi wajar jika semua karya tersebut berpotensi untuk dirubah lantaran sesuatu yang dilahirkan manusia tidak akan terlepas dari kekurangan. Ia tetap berpotensi untuk diberikan analisa kritis, dikaji ulang, didiskusikan kembali, untuk kemudian dinilai apakah tetap bisa diterima atau tidak. Umat Islam ini pada dasarnya tidak akan bersepakat pada satu kesesatan. Karena itu, dalam melaksanakan proses pembaharuan tersebut, yang harus dijadikan pijakan utama kita adalah hal-hal yang bersifat absolut (qawathi’) baik yang berasal dari teks maupun penalaran manusia.”

Kita tentu harus tetap merayakan pesta demokrasi yang terjadi setiap lima tahun sekali ini. Sebab ia adalah konsekuensi terhadap pilihan hidup berdemokrasi. Namun kita juga harus sadar betapa kontinuitas dan kredibilitas politik pendidikan harus tetap dijaga demi terselenggaranya keadilan sosial dalam bidang pendidikan. Perubahan dan pergantian sistem pendidikan bukan suatu entitas sakral yang tidak bisa diganti. Namun menggantinya dengan begitu mudah tanpa pertimbangan matang, terlebih demi terselenggaranya oportunisme politik sektoral, jelas sesuatu yang merugikan kehidupan kebangsaan.

Mei adalah bulan pendidikan sekaligus bulan politik. Bulan di mana Hari Pendidikan dan Kebangkitan Nasional diperingati setiap tahunnya. Peringatan tersebut tidak boleh hanya bersifat seremonial, tapi juga harus lebih jauh menyentuh aspek teoritis-praktis. Gagasan moderasi beragama yang digagas oleh Kementerian Agama, dengan berbagai konsepsi sebagaimana yang ditawarkan oleh al-Qaradlawi di atas, kiranya dapat menjadi sebuah tawaran bagi para politisi dan akademisi untuk diarusutamakan dalam bidang politik pendidikan.

[1] Mahasiswa Doktoral Universitas PTIQ – PKUMI Jakarta; Alumni Pascasarjana IIUM Malaysia.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here