Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Dunia yang kita diami sekarang ini hamper tidak ada yang tertutup. Semua terbuka. Di satu sisi, terbuka untuk dilihat, diamati dan ditelisik. Di lain sisi, terbuka untuk dikritik sekaligus terbuka untuk mengkritik. Kritik hanyalah satu dari sekian ekspresi untuk menyampaikan pendapat dan bersuara. Tentu, ada yang senang dan bangga dengan pendapat itu dan ada pula yang akan tersinggung atau merasa dihina atau sekedar disepelekan. Biasanya, yang sering tersinggung oleh kritik adalah mereka yang sedang berkuasa.
Dalam konteks keindonesiaan, sejak masa Orde Lama, kebebasan dan keterbukaan menyampaikan pendapat itu mulai ada pembatasan melalui peraturan dan undang-undang. Bukan hanya yang disampaikan secara lisan, melainkan juga yang tertulis dalam bentuk buku atau media massa. Pemerintah tidak akan sungkan-sungkan untuk membredel atau memberangus buku-buku itu. Dalam hal ini, kita mungkin masih ingat bagaimana Buya Hamka diperlakukan, sehingga harus meringkuk di dalam penjara.
Begitu juga pada masa Orde Baru. Meski dibilang ‘Baru” tapi cara penguasa memperlakukan pendapat para cendekiawan juga tetap sama. Malah sejak tahun 1963 yang terkenal dengan UU Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Para intelektual akan ditangkap dan dipenjarakan, karena pendapatnya dianggap mengganggu stabilitas negara.
Di akhir masa pemerintahan Orde Baru (1990-an) para mahasiswa, akademisi, cendekiawan dan aktivis tiarap di bawah bangku kuliah dan menggiatkan diri untuk terus berdiskusi dan menulis tentang apa yang dirasakan dengan kegetiran suasana bermasyarakat, berbangsa dab bernegara yang ada. Mereka berteriak dalam diam tentang ketertekanan mereka dalam menjalani dunianya.
Dan, sesungguhnya pada masa sekarang ini pun masih berlangsung, di mana para penguasa berlindung di balik Undang-undang ITE. Kita bisa menyimak dari pelbagai cuitan di media sosial yang menunjukkan ada ketertekanan untuk menyuarakan dan menyampaikan pendapatnya. Tidak banyak yang kemudian ditangkap atau sekedar diinterogasi. Tetapi baru sedikit saja itu cukup memberi efek jerah dan kehati-hatian yang luar biasa bagi banyak orang.
Ketakutan ini dalam Bahasa yang keren sering disebut terror (menebar ketakutan) yang menjadikan banyak orang harus amat sangat berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya. Menariknya, mereka ini tidak ada ceritanya menang terhadap penguasa jika telah masuk di ranah hukum. Selalu saja kalah, salah dan tersalahkan. Tidak ada yang tahu, apakah memang salah atau sengaja dikalahkan??
Karenanya, dalam hal menyampaikan pendapat dan, terutama, menulis, kita mungkin bisa belajar dari Anne Frank yang sangat terkenal di masanya, bahkan hingga sekarang ini. Ia menulis buku harian tentang situasi yang terjadai di hadapnnya. Anne bukanlah seorang dewasa dan intelektual. Dia hanyalah gadis yang suka menulis catatan harian. Catatannya justru terkenal setelah dia meninggal dunia. Dia tidak menikmati popularitas, tetapi ia menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama.
Belajar dari Anne Frank
Kisah Anne Frank dalam menulis buku harian adalah sebuah potret mengenai kehidupan seorang remaja Yahudi selama Perang Dunia II. Anne Frank lahir pada 12 Juni 1929 di Jerman. Pada tahun 1942, keluarganya bersembunyi dari penindasan Nazi dengan menyusup ke dalam sebuah ruangan rahasia di belakang ruang buku kantor ayahnya di Amsterdam.
Selama hampir dua tahun hidup dalam pengasingan, Anne menyimpan sebuah buku harian yang menjadi tempat di mana dia menuangkan perasaan, pemikiran, dan pengalamannya sehari-hari. Dalam buku harian tersebut, Anne memberi nama “Kitty” kepada bukunya. Ia berbicara padanya layaknya teman setianya.
Anne menggambarkan kehidupan sehari-hari di dalam ruangan tersebut, mulai dari konflik dengan anggota lain, keluarganya hingga perasaan kesepian dan rindu akan dunia luar. Dia juga menulis tentang harapan dan impian masa depannya, serta pandangannya tentang perang dan penindasan yang dia alami sebagai seorang Yahudi.
Kisahnya menghadirkan berbagai karakter yang tinggal bersama mereka dalam persembunyian, termasuk keluarga Van Daan dan seorang pria muda bernama Peter. Anne dan Peter mulai membentuk hubungan khusus selama waktu mereka bersama di ruangan rahasia, dan perasaan mereka berkembang seiring berjalannya waktu.
Namun, pada tanggal 4 Agustus 1944, tempat persembunyian mereka terbongkar dan keluarga Frank ditangkap oleh Nazi. Anne dan keluarganya dibawa ke kamp konsentrasi. Anne meninggal karena penyakit dan kelaparan di kamp konsentrasi Bergen-Belsen pada Maret 1945, hanya beberapa minggu sebelum kamp tersebut dibebaskan oleh pasukan sekutu.
Setelah perang, ayah Anne, Otto Frank, adalah satu-satunya anggota keluarga yang selamat. Ia kembali ke Amsterdam dan menemukan buku harian Anne yang selamat dari penggerebekan. Terkesan oleh keinginan Anne untuk menjadi penulis, Otto menerbitkan buku harian tersebut dengan judul “The Diary of a Young Girl” (Dalam versi Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Dari Anne: Catatan Harian Seorang Gadis”). Buku ini menjadi salah satu kisah paling mengharukan dan menginspirasi tentang kengerian Perang Dunia II dan memberikan wawasan mendalam tentang pengalaman seorang remaja selama masa sulit tersebut.
Buku harian Anne Frank menjadi suara yang mengingatkan dunia sekaligus sebagai simbol pemberontakan manusia terhadap ketidakadilan dan keinginan untuk mengabadikan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan dalam situasi paling gelap sekalipun.
Tidak Hari Ini, Mungkin Esok
Kisah hidup Anne Frank, terutama yang terkenal melalui buku harian “The Diary of a Young Girl,” adalah sumber inspirasi dan pembelajaran yang berharga. Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari kisah hidupnya adalah, pertama, tentang ketahanan dan keberanian. Meskipun hidup dalam kondisi yang sulit dan penuh ketakutan, Anne menunjukkan ketahanan dan keberanian dengan mencatat dan menuliskan pengalamannya dalam buku harian.
Kedua, optimisme di tengah kesulitan. Meskipun situasinya sangat suram, Anne tetap mempertahankan semangat optimisme dan harapan. Dia mengajarkan pentingnya mencari sisi baik dalam setiap situasi, bahkan dalam masa-masa sulit. Situasi kekinian kita hari ini masihlah sangat nyaman untuk menuliskan apa saja tentang apa yang ada di sekeliling kita. Hanya, hal-hal yang bersifat subversive tentang penguasa saja yang perlu ditahan untuk diterbitkan terlebih dahulu. Biarlah akan menjadi sumbangsih historis pada nantinya.
Ketiga, pentingnya penulisan dan ekspresi diri. Anne menggunakan jurnalnya sebagai tempat untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, dan refleksinya. Hal ini mengingatkan kita tentang pentingnya mengekspresikan diri secara kreatif dan menulis sebagai alat untuk merenung, mengatasi emosi, dan mencari pemahaman.
Keempat, penghargaan atas kebebasan. Pengalaman Anne yang menghabiskan waktu dalam persembunyian mengingatkan kita akan nilai kebebasan. Ini mengajarkan pentingnya menghargai dan melindungi hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup tanpa takut dan berbicara dengan bebas.
Kelima, belajarlah dari Sejarah. Kisah hidup Anne Frank mendorong kita untuk belajar dari sejarah agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Melalui pemahaman tentang penderitaan yang dialami oleh Anne dan jutaan lainnya selama Holocaust, kita diingatkan untuk berdiri melawan kejahatan, intoleransi, dan kebijakan diskriminatif.
Akhirnya, tetaplah semangat untuk menjunjung tingga kemerdekaan menyampaikan pendapat. Sahabat Pena Kita sebagai pencinta literasi dunia tidak akan pernah surut untuk tetap menuliskan tentang apa saja yang ada di depan mata kita. Seorang penulis mungkin tidak akan menikmati hari ini, tetapi ia akan memetic indahnya di hari esok. Itulah yang membuat seorang penulis tidak pernah mati. Ia hidup dengan karya dan tulisannya.
Bahrus Surur-Iyunk, penulis buku Matahari di Balik Benteng Tradisi, Satu Abad Sejarah Muhammadiyah Sumenep (UAD Press, Desember 2022) dan 25 buku lainnya.